Bahkan Anita Lie (2004) dalam bukunya Cooperative Learningmenyatakan bahwa pengajaran oleh tutor sebaya ternyata lebih efektif dari pada pengajaran oleh guru. Hal ini disebabkan latar belakang dan pengalaman para siswa mirip satu dengan lainnya dibanding dengan guru. Penjelasan tutor sebaya kepada temannya mungkin lebih bermakna dibandingkan guru, karena siswa melihat masalah dengan cara yang berbeda dibandingkan orang dewasa dan mereka menggunakan bahasa yang lebih akrab dan sederhana sehingga mudah dipahami teman-temannya.
Dalam sebuah studi penelitian eksperimen, Fawcett & Garton (2005) menyelidiki dampak interaksi sosial kolaboratif terhadap kemampuan anak untuk menyelesaikan masalah. Ditemukan bahwa anak-anak yang berkolaborasi mengalami kenaikan skor dalam tugas memilah secara signifikan lebih tinggi daripada anak-anak yang bekerja secara perorangan. Namun kenaikan skor lebih tinggi lagi diperoleh anak-anak yang harus saling berbicara dengan rekannya tentang tugas tersebut dalam kolaborasi. Ini menggarisbawahi pentingnya bahasa sebagai alat kognitif bagi belajar dan perkembangan dan nilai interaksi dengan teman sebaya bagi pertumbuhan kognitif.
Inti dari strategi pembelajaran tutor sebaya ini adalah pembelajaran yang pelaksanaannya dengan membagi kelas dalam kelompok--kelompok kecil, yang sumber belajarnya bukan hanya guru melainkan juga teman sebaya yang pandai dan cepat dalam menguasai suatu materi tertentu. Dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen, siswa yang pandai mengajari yang lemah, siswa yang tahu memberitahu yang belum tahu, siswa yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, siswa yang mempunyai gagasan segera memberi usul dan seterusnya.Â
Teori perkembangan Piaget memperkuat pendapat di atas, yakni perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu menjelaskan pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu lebih logis (Trianto, 2007).
Sejalan dengan itu, dalam teori konstruktivis sosial Vygotsky meyakini bahwa anak-anak mengembangkan cara berpikir tentang dunia yang secara kualitatif berbeda berdasarkan interaksi aktif dan termotivasi dengan lingkungan. Namun ia meyakini bahwa perkembangan kognitif didasarkan pada interaksi-interaksi sosial, bukan penjelajahan individu terhadap lingkungan. Peralatan budaya seperti bahasa penting bagi perkembangan ini. Keyakinan ini tercermin dalam zona perkembangan proksimal (ZPD), yang mengacu pada potensi perkembangan belajar anak.Â
Dalam bukunya "Psikologi Perkembangan" Penney Upton (2012) memaparkan ZPD sebagai representasi jarak antara tingkat perkembangan actual dan potensial anak. Tingkat pekembangan actual anak ditentukan oleh penyelesaian masalah secara mandiri, sedangkan tingkat perkembangan potensial ditentukan oleh penyelesaian masalah yang dapat mereka capai dengan instruksi dari orang dewasa atau teman sebaya yang lebih pandai. Anak-anak mengembangkan cara baru dalam berpikir dan menyelesaikan masalah dengan bekerja bersama orang lain yang lebih pandai dalam tugas-tugas yang berada dalam zona ini.
Agar belajar dapat terjadi, guru harus bekerja dalam zona perkembangan proksimal (ZPD). Kemajuan melalui zona ini dijabarkan dalam empat tahap:
Tahap 1: Â Kinerja dibantu secara langsung oleh orang lain yang lebih mampu melalui perancahan, yaitu proses di mana seorang guru atau teman sebaya yang kompeten membantu pembelajar dalam suatu tugas dalam ZPD sesuai kebutuhan pembelajar. Tujuannya adalah menyederhanakan suatu tugas sehingga dapat diselesaikan dan mendorong serta memotivasi pembelajar untuk terlibat dan menyelesaikannya.Â
Agar efektif, bantuan yang diberikan harus sesuai kebutuhan pembelajar dan harus dihentikan bila tidak lagi diperlukan. Pada tahap awal keterlibatannya dalam tugas baru pembelajar dapat memperoleh manfaat dengan diberi petunjuk apa yang harus dilakukan (pencontohan atau demonstrasi) atau instruksi langsung. Seiring mereka bergerak melalui zona tesebut, bantuan dapat menjadi semakin tidak langsung dan melibatkan hal-hal seperti mengajukan petanyaan-pertanyaan untuk membantu pembelajar mencapai solusinya sendiri.
Tahap 2: Â Melibatkan pembimbingan oleh diri sendiri seiring pengambilalihan peran guru oleh pembelajar dalam proses belajar mereka sendiri. Ini dapat berupa tindakan berbicara kepada diri sendiri di sela mengerjakan tugas tersebut, mengingat instruksi-instruksi yang diberikan sebelumnya, dan sebagainya.
Tahap 3: Â Kinerja menjadi otomatis