Masih segar dalam ingatan kita ketika UNESCO menetapkan batik Indonesia sebagai warisan dunia di tahun 2009 silam (http://www.thejakartapost.com/news/2009/08/05/unesco-names-ri%E2%80%99s-handmade-batik-world-heritage.html), serta-merta batik yang sebelumnya hanya dipandang sebelah mata oleh banyak orang Indonesia menaik pamornya.  Demam batik terjadi di mana-mana yang ujung-ujungnya menaikkan pula martabat batik itu sendiri. Orang berlomba-lomba membeli berbagai produk batik dan memburu batik dengan motif-motif tertentu, sebut saja motif kopi tutung yang saking diburunya, harga per lembar kainnya pun bisa mencapai dua belas juta rupiah atau motif hokokai.
Dimasukkannya batik sebagai warisan kelas dunia oleh UNESCO terjadi ditengah gempitanya perdagangan dunia maya, seolah menyediakan fasilitas untuk menyokong geliat perdagangan batik ini. Berbagai toko daring (online shop) menjamur diberbagai situs jejaring sosial sungguh menggairahkan. Laju perdagangan dalam negeri batik merayap naik luar biasa dan menghidupi pada pelaku bisnis di dalamnya, menggerakkan industri ini dari hulu ke hilir. Para pembatik, perancang dan pelaku usaha busana dan berbagai perlengkapan pendukungnya, seperti tas dan sepatu, perlengkapan interior banjir pesanan secara daring.
Hukum ekonomi pun berlaku, di mana ada permintaan di situ ada persediaan. Kasta batik pun naik tingkat karena berbagai kalangan mencarinya, hingga para perempuan kelas atas sudah banyak pula yang memburunya. Apalagi harganya relatif murah dibandingkan merek-merek ternama.
Sebegitu fenomenalnya industri dan perdagangan batik di tanah air, sayangnya tidak berlaku secara internasional. Mengapa? Sama halnya dengan tabiat orang Indonesia sendiri, sindrom macan kandang pun berlaku untuk batik. Orang Indonesia yang hidup diperantauan masih banyak yang tetap memandang sebelah mata terhadap batik. Apa karena gema perdagangan batik di tanah air tidak terlalu terdengar? Ataukah karena bagi mereka batik kurang bergengsi dibandingkan dengan berbagai merek kelas dunia lainnya? Ataukah karena batik belum dipakai oleh para bule (baca: orang kulit putih) sehingga mereka belum ngeh seratus persen? Biasalah, karena meskipun sudah lebih dari setengah abad merdeka, mentalitas bangsa kita sebagai bangsa terjajah masih tertatam kuat di dalam diri kita. Jujur saja, apakah jika UNESCO, yang nota bene-nya badan dunia (baca: orang asing) tidak memasukkan batik sebagai warisan dunia, maka batik akan booming seperti sekarang?
Bangsa Indonesia diperantauan sayangnya tidak seperti bangsa Cina yang biasanya membantu sesama bangsanya sendiri yang baru datang ke sebuah negara baru hingga sama-sama berhasil. Bangsa kita lebih suka bersaing, tidak mau melihat pendatang baru lebih berhasil dari yang sudah lama hidup di situ. Akibatnya, untuk mempromosikan produk bangsa sendiri (baca: batik) pun, alih-alih menyambut dengan antusias, justru banyak suara-suara sumbang yang terdengar dengan alasan layaknya bagai macan ompong, 'karena belum dikenal orang, jadi kalau mau dijual, harus dengan harga murah'.
Bukannya melihatnya sebagai bagian dari warisan dunia, jadi mari sama-sama dipromosikan dan dikenalkan ke khalayak luas.  Tapi lagi-lagi cerita lama, kedigjayaan batik hanya sebatas macan kandang, aumannya hanya terdengar dari dalam kandangnya saja, begitu keluar kandang, mendadak giginya tanggal semua. Giliran dagingnya direbut orang lain, baru ikutan heboh berlagak seperti pahlawan kesiangan. Sungguh bangsaku sayang, bangsaku malang. Kapan batik bisa benar-benar mendunia kalau begini ceritanya? Apa kita sudah cukup senang hanya dengan status batik di UNESCO?
Mengandalkan pemerintah semata dalam hal ini perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal, karena seperti yang kita ketahui, mereka pun akan berkilah, kami hanya memfasilitasi saja, sebuah istilah halus untuk mengatakan bahwa batik masih bukan merupakan prioritas utama perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri. Oleh karena itulah, peran serta warga Indonesia di perantauan menjadi ujung tombak untuk mempopulerkan batik. Caranya sama saja dengan di dalam negeri, dengan menggalakkan semangat cinta produksi Indonesia, seharusnya lewat masyarakat dengan promosi dari mulut ke mulut merupakan moda pemasaran yang paling murah dan handal. Konsistensi dalam melakukan hal-hal sederhana seperti ini justru akan mampu memperkenalkan batik itu sendiri di mata dunia. Jangan lupa, seeing is believing...bukankah pendekatan secara visual jauh lebih ampuh?
Berbicara tentang promosi fisik dalam skala besar, tentu saja melibatkan modal besar yang seharusnya dapat disinergikan antara para perwakilan Indonesia di luar negeri dengan pelaku bisnis batik. Akan tetapi, jangan lupa, ini sudah zaman teknologi digital. Kalau perdagangan batik dalam skala domestik sudah berhasil digerakkan melalui perdagangan daring (online shops), apa sulitnya melakukan hal yang sama secara internasional? Bukankah berbagai situs jejaring sosial juga merambah secara global? Awalnya memang promosi untuk membangun kesadaran publik secara daring, setelah itu....terserah Anda!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H