Beberapa tahun terakhir sering kali terjadi terorisme dan radikalisme agama. Bahkan, kejadian seperti itu sudah menjadi tradisi baru bagi negara plural sedang berkembang maju seperti Indonesia saat ini.
Seperti kejadian Kamis (14/1/2016) siang. Aksi bom bunuh diri dan baku tembak teroris dengan polisi kembali terjadi di Jalan MH. Tamrin, Jakarta Pusat. Tragedi tersebut telah menewaskan 7 orang, diantaranya 5 pelaku aksi teror, 1 orang berkewarganegaraan asing (Belanda), dan 1 orang masyarakat sipil.
Tragedi tersebut telah menyita perhatian nasional dan internasional, salah satunya berimbas pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang hampir tembus ke angka Rp14.000. Bahkan, banyak spekulasi timbul dari netizen yang menyebutkan bahwa aksi teror bom yang terjadi di depan gedung Sarinah adalah salah satu pengalihan isu divestasi Freeport yang seharusnya sudah melepas 10,64 persen sahamnya ke pemerintah RI sesuai dengan komitmen divestasi.
Namun, berbeda dengan Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli yang turut prihatin atas kejadian aksi bom bunuh diri depan kantornya itu mengatakan, “Dulu sih tidak ada tradisi itu, tapi beberapa tahun terakhir, ada tradisi orang mau berkorban melakukan bom bunuh diri untuk apapun niatnya, dan kalau tidak dihentikan, maka kombinasi kemiskinan dengan radikalisme bisa membuat bangsa kita terpecah-pecah dan berbahaya ” ungkap Rizal di beberapa media online saat menghadiri Kongres Nasional IX IA-ITB di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis, (14/1/2016).
Memang, menarik rasanya bagi kita semua untuk mencermati motif di balik pengemboman yang terjadi di Jalan MH Thamrin. Bagi saya, setiap orang boleh berspekulasi apa saja sambil menunggu pembuktian hasil investigasi dari kepolisian. Karena yang terpenting bagi saya adalah kenapa dan apa yang mendasari seseorang mau melakukan bom bunuh diri tersebut? Mungkin di benak kita jawaban bisa bermacam-macam, hampir bisa dipastikan salah satunya adalah motif ekonomi, dimana seseorang bisa dan mau melakukan hal sekejam itu karena tuntutan ekonomi yang menghimpit kehidupan diri dan keluarganya.
Ditambah, dalam diri mereka juga memiliki kekecewaan yang mendalam kepada para pejabat di negeri ini yang telah lalai menyejahterakan rakyatnya dan lebih mementingkan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Hal itulah yang menyebabkan para pelaku teror bom bunuh diri berani melakukan aksi sekejam itu tanpa mempedulikan orang lain di sekitarnya.
Di sini lah, seharusnya pemerintah sadar akan penderitaan masyarakatnya. Justru seharusnya pemerintah terus hadir di tengah-tengah masyarakatnya karena berkat mereka lah kalian para pejabat di negeri ini bisa duduk di kursi kekuasaan yang nyaman. Kemiskinan dan kebodohan sangat dekat dengan kedzoliman, merosotnya moral dan akhlak masyarakat adalah salah satu penyebab kemunduran bangsa ini yang tidak lepas dari kegaduhan-kegaduhan yang sebetulnya dibuatnya sendiri.
Andai saja pemerintah mau serius kembali ke Pembukaan UUD 1945, saya berkeyakinan ke depan bangsa Indonesia akan benar-benar mampu mengantarkan masyarakatnya berkehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jangan sampai teks Pembukaan UUD 1945 hanya menjadi ucapan anak sekolah dasar ketika melangsungkan upacara bendera setiap hari Senin pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H