Ditulis oleh: Duy Nurdiansyah Aktivis Pegiat Lingkungan dari KP2K (Komunitas Pemerhati Pembangunan Kota).
Penataan kawasan pantai utara Jakarta melalui reklamasi sudah sejak awal dekade 1990-an didiskusikan dan dipersiapkan. Tahun 1995, terbit Keputusan Presiden No 52 Tahun 1995 sebagai dasar untuk melaksanakan reklamasi di pantai utara Jakarta.
Kajian ilmiah untuk reklamasi Teluk Jakarta sudah beberapa kali dilakukan. Pemerintah melibatkan banyak pakar dalam proses pelaksanaan reklamasi. Dari kajian-kajian yang telah dilakukan, berbagai hal yang berpotensi menjadi dampak negatif dan manfaat positif telah diperhitungkan dan diantisipasi.
Setelah terpinggirkan di era Reformasi, pelaksanaan reklamasi mulai dipersiapkan kembali di era Gubernur Fauzi Bowo. Pelaksanaan rencana pengembangan kawasan pantai utara Jakarta yang sempat terlunta-lunta menggeliat lagi.
Dengan pemahaman yang mendalam, berbagai potensi mudaratnya pasti akan ditekan pemerintah secara maksimal agar bisa mendapatkan maslahat yang sebesar-besarnya. Berbagai syarat dan aturan pun dibuat sebagai mekanisme untuk mengawal pelaksanaan reklamasi.
Dalam pengendalian di level operasional, pengembang harus melalui berbagai tahapan sebelum memperoleh izin pelaksanaan reklamasi. Dalam setiap tahap, ada syarat tertentu yang harus dipenuhi lebih dulu sebelum mendapatkan izin tahap berikutnya.
Tahap pertama, penerbitan izin prinsip reklamasi. Setelah itu, jika semua persyaratannya telah dipenuhi akan diterbitkan izin pelaksanaan reklamasi. Tahap ketiga, setelah lahan reklamasi jadi, kemudian lahan itu harus diserahkan ke pemprov DKI.
Mengapa demikian? Karena seluruh lahan tersebut milik pemerintah provinsi DKI. Pengembang harus mengajukan izin pemanfaatan reklamasi terlebih dahulu.
Reklamasi oleh pemerintah dijadikan sebagai alat untuk mengatasi problem kota Jakarta yang bersifat multidimensional. Ibukota memiliki beban carrying capacity yang semakin meningkat. Saat ini diperkirakan tingkat kepadatan penduduk Jakarta telah mencapai 18.800 penduduk per kilometer persegi.
Secara terminologis, carrying capacity adalah ukuran maksimum populasi dalam suatu lingkungan yang mampu mendukung secara berkelanjutan, dilihat dari ketersedian sumberdaya seperti air, makanan, hunian, sanitasi, fasilitas kesehatan, dan lain-lainnya. Biasanya, saat tingkat kepadatan penduduk meningkat, lanjut tingkat kelahiran (birth rate) menurun sedangkan tingkat kematian (death rate) meningkat.
Melihat ketersediaan lahan yang hingga saat ini hanya seluas 662 km persegi, Jakarta tidak akan mampu mengimbangi pertumbuhan jumlah penduduknya. Saat ini saja, jumlah penduduk Jakarta  sudah mencapai 13 juta jiwa lebih dan diperkirakan akan terus meningkat.