Mohon tunggu...
dwi rahayu
dwi rahayu Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

aku seorang manusia yang ingin belajar hal-hal baru di sekitar ku ^_^

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Eksistensi Tenaga Pendidik di Indonesia

22 Agustus 2013   21:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:57 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan ialah hal yang sangatpenting demi kemajuan sebuah negara, karena kualitas penduduk dapat menentukan maju dan mundurnya suatu negara.

Di negara berkembang, khususnya di Indonesia untuk mendapat pendidikan yang berkualitas tak semua kalangan dapat merasakannya. Hingga muncul sebuah selogan “pendidikan berkualitas hanya untuk warga kalangan atas”. Menegaskan bahwa penduduk kalangan bawah harus nerimo ing pandum yaitu menerima keadaan dirinya sesuai yang ditasbihkan Gusti Pengeran.

Dari zaman penjajahan Belanda sudah terjadi diskriminasi pendidikan terhadap kaum pribumi. Penddidikan hanya untuk anak-anak belanda dan kaum ningrat semata.Bahkan pendidikan diharamkan bagi kaum perempuan.

Secara formal Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah kenyataan yang direncanakan untuk mewujudkan siatuasi dan proses belajar, untuk membuat siswa meningkatkan kemampuan mereka secara aktif untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan dan juga keterampilan yang dibutuhkan oleh mereka dan dengan lingkungan mereka.

Dikutip dalam pembukaan UUD ’45 “...mencerdaskan kehidupan bangsa...” tak ada implementasi yang merata pada kenyataannya. Tujuan mulia bangsa yang sejak diproklamirkannya kemerdekaan pada tanggal 18 Agustustus 1945, Belum sepenuhnya tercapai. Untuk memperoleh generasi yang cerdas tentu dibutuhkan tenaga pendidik yang berkualitas. Saat ini tercatat total guru di indonesia sebanyak 2,7 juta. Dari jumlah tersebut 1,5 juta atau 57,4 % diantaranya belum berkualifikasi sarjana atau diploma empat (S1/ D4). Belum lagi kompetensi, kualitas dan kualifikasi guru yang beragam.

Pembangunan untuk sarana dan fasilitas memang perlu namun ada yang lebih penting yaitu perlunya membangun guru yang mempunyai soft skill yang bisa menarik minat siswanya dalam memahami materi pelajaran. Kedekaatan guru dengan siswa serta metode yang digunakan menentukan berkualitastidaknya guru tersebut. Menjadikan pelajaran yang dulunya tidak disukai menjadi pelajaran yang diminati bahkan diingat hingga tua.

Mengutip cerita perjalanan Govind Vashdev seorang trainer sewaktu di India, mengatakan saat ini kualitas pendidikannya boleh disejajarkan dengan negara-negara maju, di sana masih banyak tempat dimana anak-anak duduk berkumpul di bawah pohon rindang dan seorang berdiri di dekat batang dengan kapur tulis. Tempat itu disebut sekolah. Sebaliknya bila semua fasilitas tersedia namun guru tidak hadir di sana, maka kita tidak bisa menyebutnya sekolah.

Belajar dari Jepang

Terhitung 68 tahun sudah Indonesia merdeka, namun galiat pendidikan di Indonesia masih lamban dibanding Jepang. Padat tahun 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya disaat itu pula Jepang mengalami masa-masa pahit yang kita semua tahu pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 secara berurutan, Amerika menyerang kota Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom yangmenyebabkan Jepang lumpuh seketika. Jumlah korban yang mencapai 240.000 jiwa tak membuat Jepang larut akan duka yang berkepenjangan. Dalam kurun waktu 30 tahun dunia dibuat tercengang dengan ketangkasan Jepang dalam penanganansetelah penyerangan tersebut dan menjadi salah satu jantung perekonomian dunia.

Setelah hancurnya kota Hiroshima dan Nagasaki oleh bom atom, Kaisar Jepang memerintahkan perdana menteri dan seluruh jajarannya untuk berkumpul. Yang manrik dari rapat mendadak ini adalah pertanyaan pertama yang Kaisat lontarkan. Kaisar tidak menanyakanberapa prajurit yang tersisa, berapa uang yang masih kita punya, tidak juga menanyakan berapa penduduk yang meninggal atau selamat. Yang Kaisar tanyakan kepada seperangkat menteri adalah “berapa guru yang masih kita miliki?”. Kaisar Jepang sadar betul bahwa langkah awal untuk membangkitkan Jepang yang porak poranda saat itu ialah dengan membangun sistem pendidikan yang berkualitas.

Yang perlu dicatat akan bangsa Jepang, dari segi budaya mereka menerapkan sistem kerja kolektif dan bukan merupakan bangsa yang senang meniru. Mereka selalu berusahabelajar dari kemajuan dan kesalahan bangsa lain tanpa harus mencontoh seuthnya. Para ilmuan-ilmuan Jepang emmpunyai andil yang sangat penting untuk pembangunan bangsanyas. Ketika para ilmuan Jepang belajar ilmu tekhnologi maupun perekonomian di Amerika taupun di Eropa, saat kembali ke tanah airnyamereka mendapat apresiasi dari negaranya dan dengan bangga mempersembahkan apa yang mereka peroleh dengan menerapkan modifikasi keunikan sistem sosial dan sistem budaya yang mereka miliki.

Penulis berharap Indonesia dapat belajar dari Jepang mengenai kiat kebangkitan bangsa Jepang tanpa meniru seutuhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun