Untuk angka inkracht (berkekuatan hukum tetap) mengalami penurunan sangat signifikan hingga 10,71%. Di tahap penuntutan turun 1,94% dari 103 kasus menjadi 101 kasus. Selanjutnya, di tahap eksekusi juga turun sebesar 3,61% dari 83 kasus menjadi 80 kasus.
Kerugian negara akibat kejahatan korupsi yang tercatat oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) mencapai Rp 1,5 triliun di 2016 dari 482 kasus. Kerugian tersebut mengalami peningkatan menjadi Rp 6,5 triliun di 2017 dari 576 kasus. Kerugian yang teramat besar di kala negara masih berjuang keras mengentaskan kemiskinan rakyatnya. Tak ayal lagi kita masuk dalam kondisi "darurat korupsi".
Berdasarkan Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan Transparency International, Indonesia berada pada angka 37 (0: paling korup, 100: paling bersih) dan berada di peringkat ke-96 dari 180 negara yang disurvei. IPK Indonesia dari 2016 ke 2017 sama, yaitu 37, tapi peringkatnya turun. Pada 2016, Indonesia berada di peringkat ke-90.
Perilaku anti korupsi masyarakat di 2018 cukup memprihatinkan dibanding 2017. Hal ini terlihat dari hasil Survei Perilaku Anti Korupsi yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS). Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2018 berada di angka 3,66 (0: sangat permisif, 5: sangat anti korupsi). Angka ini lebih rendah dibanding capaian tahun 2017 yang di angka 3,71.
IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu persepsi dan pengalaman. IPAK digunakan untuk mengukur perilaku masyarakat dalam tindakan korupsi skala kecil (petty corruption) dan tidak mencakup korupsi skala besar (grand corruption).
Terjadi peningkatan persentase pelayanan publik yang dilakukan melalui perantara. Persentase masyarakat yang pernah berhubungan sendiri dengan petugas pelayanan publik dan mengetahui adanya informasi biaya resmi yang berlaku masih cukup rendah. Terjadi peningkatan persentase masyarakat yang menganggap pembayaran melebihi ketentuan sebagai hal lumrah. Bisa jadi hal tersebut menunjukkan peningkatan permisifitas dari diri masyarakat terhadap perilaku korupsi.
IPAK masyarakat perkotaan lebih tinggi (3,81) dibanding IPAK perdesaan (3,47). Artinya masyarakat perkotaan lebih anti korupsi dibanding masyarakat perdesaan. Begitu dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan, masyarakat semakin anti korupsi. IPAK masyarakat berpendidikan SLTP ke bawah sebesar 3,53; SLTA sebesar 3,94; dan di atas SLTA sebesar 4,02.
Masih ada secercah harapan untuk pencegahan kejahatan korupsi. Kaum muda cenderung lebih tidak permisif terhadap perilaku korupsi dibanding kelompok umur tua. IPAK masyarakat berusia 40 tahun ke bawah sebesar 3,65; usia 40-59 tahun sebesar 3,70; dan usia 60 tahun atau lebih sebesar 3,56.
Terlihat betapa pentingnya pendidikan karakter anti korupsi bagi generasi muda sebagai salah satu tindakan preventif kejahatan korupsi, selain menutup kesempatan bagi oknum birokrat maupun usahawan melakukan kejahatan korupsi.
Tindakan represif juga diperlukan bagi para koruptor. Wacana tentang potong tangan bagi pelaku korupsi tengah hangat disoundingkan. Bahkan hukuman mati yang merupakan hukuman maksimal bagi koruptor (UU No.20/2001) juga sedang dipertimbangkan para penegak hukum. Dengan demikian tercermin suasana darurat untuk memerangi kejahatan luar biasa korupsi.