Isu gender merupakan sebuah isu dan permasalahan yang lahir akibat adanya diskriminasi gender. Isu gender tersebut melahirkan sebuah bias gender yang dapat mengakibatkan diskriminasi kepada perempuan maupun laki-laki. Isu gender sendiri dapat menimbulkan ketimpangan dari segala bidang. Sebagai contoh, di bidang politik dapat dilihat bahwa representasi perempuan di parlemen masih sangat sedikit yang mengakibatkan kepentingan-kepentingan perempuan kurang dapat terwakili.
Permasalahan mengenai gender sendiri menjadi permasalahan yang menarik untuk dikaji terutama di Indonesia. Maraknya permasalahan gender di Indonesia sendiri menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat Indonesia belum terlalu memperhatikan kesetaraan-kesetaraan gender. Salah satu faktor mengapa isu-isu gender marak terjadi di Indonesia dikarenakan masih adanya ketimpangan mengenai kesempatan antara perempuan dan laki-laki. Keterbatasan kesempatan tersebut dipengaruhi berbagai faktor yang sudah ada di Indonesia. Salah satu faktornya merupakan faktor kebudayaan yang mana masih banyak budaya di Indonesia yang melihat perempuan lebih rendah dari laki-laki. Budaya tersebut masih menganggap perempuan hanya dapat berkontribusi dalam rumah tangga, tidak lebih dari itu. Sementara, urusan mencari penghasilan, dan tanggung jawab besar lainnya dilimpahkan kepada laki-laki.
Kebudayaan yang masih kental, terutama di pedesaan-pedesaan yang membuat permasalahan yang terkait gender tersebut sulit untuk dibenahi. Limitasi yang sudah ada dan sudah lumrah di kebudayaan Indonesia harus didobrak demi mengurangi isu-isu gender yang membatasi kegiatan yang bisa dilakukan oleh perempuan. Terlebih limitasi tersebut dapat menimbulkan bias gender yang mana salah satu pihak gender dirugikan dikarenakan kedudukan salah satu gender lebih tinggi dari gender lainnya. Hal tersebut bukan merupakan hal yang ideal di masyarakat dikarenakan dapat menimbulkan ketidakharmonisan dan dapat menimbulkan konflik antar gender.
Salah satu upaya untuk mengatasi ketimpangan gender terutama di bidang politik adalah dengan menerbitkan berbagai kebijakan yang dapat mengurangi ketimpangan gender. Salah satu contohnya adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 yang membahas mengenai penyelenggaraan pemilu menjadi salah satu kebijakan yang mengatur tentang hak perempuan dalam berpolitik. Dalam undang-undang tersebut, diatur bahwa dalam komposisi panitia penyelenggaraan pemilu baik dari tingkat KPU Pusat, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota harus memiliki anggota perempuan dalam kepanitiaannya seminimal-minimalnya 30%.
Adanya kebijakan untuk KPU memiliki anggota perempuan minimal 30% yang diharapkan dapat menjadikan perempuan untuk lebih aktif dalam berpolitik. Keaktifan tersebut tidak hanya untuk bersaing memperebutkan kursi dalam parlemen, namun juga perempuan dapat menjadi penyelengara pemilu dan aktif dalam memantau jalannya pemilu dan menjaga agar tidak terjadi kecurangan dalam pemilu. Dengan adanya minimal perempuan dalam penyelenggaraan pemilu, dapat mengurangi bias gender dalam institusi-institusi penyelenggara pemilu. Adanya perempuan juga dapat menghasilkan berbagai keputusan-keputusan KPU yang lebih dapat diterima oleh perempuan dan tidak menguntungkan salah satu gender saja.
Namun, adanya kebijakan tersebut belum dapat menuai hasil yang signifikan. Hal tersebut terlihat bahwa hingga saat ini anggota perempuan di KPU belum mencapai angka 30%. Bahkan, di beberapa daerah anggota KPU sendiri hanya diisi oleh laki-laki tanpa adanya anggota perempuan. Perlunya kehadiran perempuan di lembaga penyelenggaraan pemilu tidak hanya untuk menunjukkan kehadiran perempuan dalam KPU, namun perempuan dapat memberikan perspektif baru dalam lembaga KPU dikarenakan KPU sendiri memiliki posisi strategis dalam mengambil kebijakan hingga sosialisasi mengenai pemilu. Adanya perempuan dalam KPU juga dapat memberikan ruang yang ramah perempuan dalam lembaga KPU. Pengalaman yang dimiliki oleh perempuan yang tidak dialami oleh laki-laki juga dapat menjadikan KPU untuk membuat kebijakan-kebijakan yang lebih inklusif. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih memperhatikan keadaan-keadaan dan memperhatikan kepentingan perempuan dalam lembaga KPU. Hal tersebut harus juga dibarengi oleh DPR yang perlu memilih anggota pengawas pemilu perempuan yang memang layak dan memiliki pengalaman yang relevan dengan tugas mereka sebagai salah satu anggota pengawas pemilu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H