Konstruksi kerjasama pertahanan trilateral antara Amerika Serikat dan dua sekutunya yaitu Jepang dan Korea Selatan telah lama menjadi tujuan strategis kebijakan luar negeri AS. Sebagaimana yang telah diperlihatkan oleh Perang Dunia II kepada para pembuat kebijakan AS, komitmen keamanan yang ditawarkan Amerika Serikat terhadap Korea Selatan dan Jepang harus saling terhubung secara kuat, baik dari segi konseptual maupun operasional. Pertahanan Amerika Serikat terhadap Korea Selatan bergantung pada infrastruktur pangkalan AS dan dukungan daerah operasi lainnya di Jepang. Dan Semenanjung Korea merupakan garis depan de facto, penyangga strategis, bagi keamanan Jepang.Â
Setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat secara serius mengkaji pembentukan struktur keamanan regional yang sejajar dengan NATO dan memasukkan unsur-unsur asosiasi ekonomi regional. Upaya awal AS untuk menekan Jepang dan Korea Selatan agar menormalkan hubungan dan menyelesaikan masalah yang belum terselesaikan dari perang dan pemerintahan kolonial Jepang menghadapi perlawanan, dan pembicaraan Korea Selatan-Jepang untuk membangun hubungan diplomatik tidak membuahkan hasil. Meskipun upaya untuk menciptakan struktur keamanan regional gagal setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat terus berupaya untuk menyatukan kedua sekutunya. Normalisasi hubungan diplomatik antara Korea Selatan dan Jepang pada tahun 1965 merupakan tonggak sejarah, yang dicapai berkat upaya para pemimpin Korea Selatan dan Jepang, tetapi tidak terlepas dari mediasi Amerika Serikat di balik layar.
Pada tahun 1999, sebagai tanggapan terhadap ancaman rudal dan nuklir Korea Utara yang terus meningkat, Amerika Serikat membentuk Kelompok Koordinasi dan Pemantauan Trilateral (Trilateral Coordination and Oversight Group--TCOG) dengan Jepang dan Korea Selatan untuk menawarkan kebijakan yang terintegrasi. Selain itu, dengan dorongan dari militer AS, pejabat pertahanan dan militer Korea Selatan dan Jepang mengadakan konsultasi, meskipun secara diam-diam. Amerika Serikat juga membantu kedua belah pihak mengatasi perbedaan mereka dengan membentuk perjanjian trilateral yang lebih sesuai secara politis.
Upaya AS untuk memperkuat hubungan trilateral hampir seluruhnya terfokus pada kerja sama keamanan, dengan sengaja menghindari isu-isu masa perang dan sejarah kolonial. Para pembuat kebijakan AS cenderung melihat masalah sejarah masa perang sebagai gangguan yang dapat dikesampingkan dengan harapan bahwa masalah tersebut akan berkurang seiring berjalannya waktu. Washington menolak seruan untuk keterlibatan AS, karena khawatir akan disalah gunakan oleh kedua belah pihak (Jepang dan Korea Selatan) karena mereka dianggap sebenarnya tidak mendukung satu sama lain. Meskipun demikian, para pejabat AS memahami bahwa sejarah tidak dapat sepenuhnya diabaikan. Pada saat normalisasi hubungan, misalnya, Korea Selatan menuntut permintaan maaf secara eksplisit dan reparasi pembangunan dari Jepang.
Hal tersebut dapat menimbulkan pertimbangan dan pertanyaan mengenai efektivitas trilateralisme di Asia Timur dan bisa saja berpengaruh terhadap dinamika hubungan internasional kawasan Asia Timur itu sendiri. Peneliti dan penstudi yang meneliti fenomena trilateralisme juga memiliki hipotesis yang sejalan dengan pernyataan Washington, yaitu bahwa trilateralisme tidak selalu "baik" secara langsung. Trilateralisme juga memiliki kelemahan struktural yang melekat dan mungkin dihadapkan pada risiko dan ketidakpastian.Â
Bentuk kerjasama trilateralisme ini sebenarnya bisa menghasilkan kemungkinan dua sifat hubungan antar negara, yang pertama bisa dikategorikan sebagai multilateralisme karena terdiri lebih dari dua negara (tiga negara atau biasa disebut minilateralisme). Namun karena struktur tata kelolanya tersebut yang hanya terdiri dari tiga negara, maka kecenderungan trilateralisme lebih mengarah ke sifat yang keduanya yaitu hubungan bilateralisme yang terpisah, di mana satu negara yang seharusnya menjadi mediator, akan berhubungan dengan dua negara secara terpisah. Oleh karena itu, Sebuah hubungan trilateralisme antar negara yang gagal dapat dicirikan sebagai "hubungan multilateral atau minilateralisme, berkedok bilateralisme." Potensi risiko terbesar dari trilateralisme terletak pada ketergantungannya yang sangat besar pada operasi yang bersifat bilateralisme yang tersemat, yang pada akhirnya dapat mengarah pada masalah efisiensi dan masalah solidaritas dalam pengaturan trilateral.
Para negara yang tergabung dalam kelompok trilateral tidak selalu lebih memilih negosiasi tiga arah daripada dua perundingan bilateral yang terpisah dengan dua pihak lainnya. Dengan demikian, trilateralisme tampaknya lebih sulit untuk menawarkan manfaat yang jelas bagi setiap aktor, dibandingkan dengan pengaturan bilateral. Di sisi lain, dibandingkan dengan multilateralisme dengan jumlah anggota yang lebih besar, operasionalisasi trilateralisme tampaknya sangat rentan terhadap ketidakstabilan hubungan bilateral yang sudah ada. Contohnya seperti, rusaknya hubungan Tiongkok-Jepang melumpuhkan hubungan trilateral Tiongkok-Jepang-Korea Selatan dan menyebabkan penangguhan KTT Trilateral tersebut selama tahun 2012-2015. Dengan demikian, ketika hubungan bilateral yang sudah tertanam berfluktuasi (tidak stabil), trilateralisme dapat menunjukkan kemudahan suatu negara dalam melakukan pembelotan. Keputusan pembelotan yang diambil oleh suatu negara, atau putusnya salah satu dari tiga hubungan bilateral dalam pengelompokan trilateral, dapat melumpuhkan operasionalisasi seluruh trilateralisme. Dalam hal ini, hubungan terlemah di antara tiga hubungan bilateral kemungkinan besar akan menjadi bagian yang paling rentan dari keseluruhan pengaturan trilateral.
Trilateral AS-Jepang-Korea Selatan menyajikan kasus dilema di mana hubungan bilateral yang terputus antara Jepang dan Korea secara substansial telah melumpuhkan fungsi kerja sama trilateral. Ketiga negara tersebut memiliki berbagai kepentingan keamanan dalam menghadapi ancaman nuklir Korea Utara. Seperti yang telah dijelaskan di atas, upaya pertama trilateralisme AS-Jepang-Korea Selatan dapat ditelusuri kembali ke pembentukan Trilateral Coordination and Oversight Group (TCOG) pada tahun 1999 sebagai sarana untuk melembagakan proses konsultasi dan koordinasi kebijakan setelah peluncuran rudal Taepodong oleh Korea Utara. TCOG tidak bertahan lama, karena platform itu kehilangan momentumnya dan digantikan oleh Perundingan Enam Pihak yang lebih luas dan berbasis multilateral pada tahun 2003.Â
Tantangan utama terhadap trilateralisme ini adalah bahwa trilateralisme ini muncul sebagai dua aliansi bilateral AS-Jepang dan AS-Korea yang terpisah, bukan sebagai pengaturan yang terintegrasi secara trilateral. Hal tersebut disebabkan oleh hubungan bilateral antara Jepang dan Korea Selatan yang tampaknya telah jatuh ke dalam lingkaran setan karena faktor-faktor seperti perselisihan historis/teritorial, politik dalam negeri, dan sentimen nasionalis yang mengarah pada peningkatan keterasingan di antara kedua negara.
Kelemahan pertama dari trilateralisme AS-Jepang-Korea adalah karena ekspektasi Korea terhadap trilateral ini sebagian besar berbeda dengan ekspektasi Amerika Serikat dan Jepang. Korea Selatan tetap waspada agar tidak terjebak dalam struktur Perang Dingin yang baru karena dua alasan. Pertama, hubungan keamanan trilateral AS-Jepang-Korea Selatan yang lebih erat dapat membatasi pilihan kebijakan Korea Selatan terkait Korea Utara.
Baik Jepang maupun Korea Selatan sama-sama mewaspadai ancaman Korea Utara, tetapi pendekatan mereka berbeda. Korea Selatan membayangkan stabilisasi dan tidak ingin menggulingkan rezim Korea Utara pada saat ini; Jepang memprioritaskan diplomasi luar negerinya yang "berbasis nilai" dan terus mengupayakan solusi untuk masalah penyanderaan di Korea Utara.