Mohon tunggu...
yudhie yarcho
yudhie yarcho Mohon Tunggu... -

A Daydreamer

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mendekati Surga

2 Desember 2010   06:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:06 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Kau masih saja melakukannya. Itu sama saja dengan bunuh diri pelan-pelan”.

“Aku menikmati penderitaan ini. Dan aku yakin ini bisa membawaku mendekati surga”.

Surga? Bukankah itu malah akan lebih mendekatkanmu ke neraka?”.

“Entahlah. Aku pun tak tahu apa bedanya surga dan neraka. Semua tak lebih hanya omong kosong belaka. Iming-iming yang belum tentu ada benarnya”.

“Hush! Jangan omong begitu. Nanti kualat kamu”.

“Kualat? Apa salahku?”.

“Yang kamu omongkan tadi”.

“Apa yang kuomongkan tadi itu salah? Memang kau pernah melihat surga? Melihat neraka? Tidak ‘kan? Tidak pernah sekalipun. Kau hanya pernah mendengarnya saja”.

“Menurutku, orang-orang lebih suka mementingkan simbol-simbol, tanda-tanda, yang semuanya belum tentu benar”.

“Kok kamu bicara begitu?”.

“Mereka melakukan ibadah dan kebaikan dengan pamrih iming-iming mendapatkan surga. Seharusnya mereka melakukannya dengan tulus, dengan kesadaran sepenuhnya”.

“Lalu harus bagaimana?”.

“Seharusnya mereka melakukannya tanpa tujuan apa-apa. Mereka melakukannya hanya karena mereka merasa harus melakukannya. Kalau mereka merasa tidak perlu dan tidak harus melakukannya, mereka berhak untuk tidak melakukan apa-apa. Begitu saja”.

“Ah, susah bicara denganmu. Sudahlah, terserah kamu!”.

Senja ini masih seperti yang dulu. Matahari masih menebarkan warna-warna jingganya ke seluruh muka bumi. Ombak pantai ini pun masih saja menyapu dan membawa kembali sampah dan kotoran yang dibuang orang-orang di sekitar pantai ini. Tidak berubah. Tidak ada yang berubah. Padahal sudah sepuluh tahun aku tinggalkan pantai ini, tapi keadaannya masih saja tetap seperti dulu. Stagnan. Masih sama.

Aku masih sendirian di sini. Dengan segala pikiran juga pertanyaan-pertanyaan yang selalu ada di sepanjang usiaku, di pikiran dan hatiku. Aku tak pernah bertanya kepada orang lain, sebab aku yakin-pasti aku tak akan pernah mendapatkan jawaban yang bisa meyakinkan aku tentang semua pertanyaan-pertanyaanku.

Tuhan, siapa Kau sebenarnya? Dimanakah Kau berada?”.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang selalu terngiang di kepalaku.

Teringat bagaimana Ibrahim bertanya kepada gunung, kepada matahari, kepada bulan atau kepada bintang untuk mencari siapa sebenarnya Tuhan. Apakah gunung-matahari-bulan-bintang itu sendiri? Atau patung dan berhala-berhala yang dipahat Azhar –bapaknya- yang harus ia sebut sebagai Tuhan dan ia sembah? Pencarian Ibrahim tak pernah berhenti, sampai suatu ketika ia dapat menemukan kebenaran sejati tentang apa yang dicarinya.

Seperti Ibrahim, aku juga memilih untuk mencari sendiri kebenaran yang kuyakini. Aku tidak ingin mendapatkannya secara kebetulan, karena keturunan, warisan atau pemberian. Aku ingin mendapatkannya menurut caraku sendiri.

Seekor gagak berkaok-kaok. Kata orang, itu pertanda akan ada yang mati hari ini. Entah siapa. Sudah lama aku tidak lagi mempercayai hal-hal seperti ini.

“Bagaimana caramu untuk bertemu dengan Tuhanmu?”.

“Sembahyang. Juga berdoa”.

“Kau?”.

“Tidak mesti!”.

“Lho, kok?”.

“Kadang aku bertemu denganNya pada saat aku sedang sendiri. Nyepi. Tapi, pernah juga aku bertemu denganNya ketika aku sedang bersama-sama dengan banyak orang. Ia datang sesukaNya. Menurut caraNya sendiri”.

“Aku tidak pernah tahu kapan dan dalam rupa apa Ia datang. Aku pernah menjumpaiNya dalam Rumi, Chopin atau Picasso. Aku juga pernah menjumpaiNya dalam paras bayiku”.

“Jangan tanya bagaimana aku bisa mengenaliNya!”.

Saat kau memandangku, aku yakin : Tuhan sedang memandangku. Saat Tuhan memandangku, aku tahu : aku sedang memandang diriku sendiri”. 2)

“Kau tidak sembahyang?”

“Kalau bisa bertemu denganNya dengan cara lain, masih perlukah sembahyang, ke masjid, pura atau gereja?”

“Ah!”.

Matahari mulai tenggelam di sebelah barat. Tapi semburat warna jingganya masih tersisa di langit. Kapal nelayan, rumah-rumah reot tempatmereka tinggal, beberapa anak kecil bermain-main dan berenang di laut, yang airnya berwarna hitam pekat. Kotor. Ombak kecil menyapu pantai, menghapus jejak-jejak kaki di pasir, menghapus kenangan dan peristiwa.

Maafkan aku, hidupku tak tertahankan lagi3). Bunyi pesan singkat yang baru saja kuterima darimu tadi. Aku tidak tahu apa maksudmu. Kau memang sering mengirim pesan yang kadang tidak bisa kumengerti apa artinya.

Esoknya kuterima kabar, tubuhmu ditemukan sudah menjadi mayat di bathtub hotel tempatmu mengasingkan diri. Menurut dokter, kau mati karena terlalu banyak mengkonsumsi pil tidur dan wiski.

Ah, mungkin ini cara yang kaupilih untuk mendekati surga. Selamat jalan, dan semoga kau bahagia dengan pilihanmu.[]

---[end]---

1) “Mendekati Surga” judul lagu dari Koil.

2) Puisi ke [sepuluh] dalam “Chapter One” Muhammad Tri Muda’i.

3) Pesan terakhir yang ditemukan ketika Dalida (penyanyi asal Perancis) ditemukan meninggal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun