DAMPAK SANKSI EKONOMI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Aditya Noviyansyah, S.H., M.H.
Faculty of Law Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Central Java.
Email : adityanoviansyah@unissula.ac.id
Durorul Muntasiroh
Faculty of Law Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Central Java.
Email : durorulmuntasiroh@gmail.com
Najwa Aulya Fachrunnisa
Faculty of Law Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Central Java.
Email : najwaaulya570@gmail.com
Nia Septiana
Faculty of Law Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Central Java.
Email : septianania606@gmail.com
ABSTRACT
This study examines the impact of economic sanctions on state sovereignty within the
framework of international law, focusing on case studies of Iran, Rusia, and North Korea. Sovereignty, as a fundamental element in international relations, includes external,
internal, and territorial aspects. However, the imposition of economic sanctions often
challenges these principles, particularly when sanctions restrict a states ability to make
domestic policies or conduct international relations. The study adopts a normative juridical approach to evaluate the legality of economic sanctions, both collective sanctions enforced through the United Nations Security Council and unilateral sanctions imposed by specific states. It employs case studies and descriptive qualitative analysis to explore the effects of sanctions on domestic policies, socioeconomic stability, and
international relations of the targeted states. The results indicate that economic sanctions frequently have significant impacts on civil societies, such as reducing access to basic necessities in North Korea and Iran. Moreover, sanctions on Rusia and Iran reveal a pattern of resistance through economic diversification and cooperation with non-Western partners. This study underscores the importance of a clearer international legal framework to ensure that sanctions are applied without violating human rights and the fundamental principles of state sovereignty.
Keywords :Â Economic Sanctions, State Sovereignty, and International Law.
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis dampak sanksi ekonomi terhadap kedaulatan negara dalam
perspektif hukum internasional, dengan studi kasus pada Iran, Rusia, dan Korea Utara. Kedaulatan, sebagai elemen fundamental dalam hubungan internasional, mencakup aspek eksternal, internal, dan territorial. Namun, penerapan sanksi ekonomi sering kali menimbulkan tantangan bagi prinsip kedaulatan Negara, terutama ketika sanksi tersebut
membatasi kemampuan negara untuk menentukan kebijakan domestik atau hubungan internasional negara target. Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk mengevaluasi
legalitas penerapan sanksi ekonomi, baik secara kolektif melalui Dewan Keamanan PBB
maupun secara unilateral oleh negara tertentu. Metode penelitian ini juga mencakup
studi kasus dan analisis kualitaatif deskriptif untuk mengkaji dampak sanksi terhadap
kebijakan domestik, stabilitas sosial ekonomi, serta hubungan internasional negara
target. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanksi ekonomi sering kali memiliki dampak
yang signifikan terhadap masyarakat sipil, seperti penurunan akses terhadap kebutuhan
dasar di Korea Utara dan Iran. Selain itu, sanksi terhadap Rusia dan Iran
mengungkapkan pola resistensi negara-negara target melalui diversifikasi ekonomi dan
kerja sama dengan mitra non-Barat. Penelitian ini juga menyoroti pentingnya kerangka
hukum internasional yang lebih jelas untuk memastikan bahwa penerapan sanksi tidak
melanggar hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kedaulatan Negara.
Kata Kunci : Sanksi Ekonomi, Kedaulatan Negara, dan Hukum Internasional.
A. LATAR BELAKANG
Istilah Kedaulatan memiliki akar kata yang kaya secara historis dan linguistic. Kata
ini berasal dari bahasa Latin superanus , yang berarti "yang paling tinggi". Dalam
perkembangan konsep ini, istilah tersebut diadopsi ke dalam bahasa Italia (sovranus ),
Perancis (souverainete ), dan Inggris (sovereignty ), yang semuanya mengacu pada
otoritas tertinggi atau kekuasaan absolut. Pada abad ke-15, istilah ini mulai digunakan
secara luas dalam konteks politik oleh para pemikir Perancis seperti Beaumanoir dan
Loyseau, yang menghubungkannya dengan supremasi dalam sistem hukum dan politik.
Secara terminologis, kedaulatan diartikan sebagai hak tertinggi suatu negara untuk
mengatur wilayah, masyarakat, dan urusan domestiknya tanpa campur tangan pihak
luar. Di Indonesia, Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan pelaksanaannya diatur menurut
konstitusi. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan tidak hanya merupakan elemen
fundamental dalam sistem pemerintahan, tetapi juga menjadi premis dasar dalam
pelaksanaan kekuasaan negara. Dalam hukum internasional, kedaulatan diatur lebih
lanjut melalui Konvensi Montevideo 1933 yang menetapkan empat unsur konstitutif
pembentukan Negara : penduduk tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang efektif,
dan kapasitas untuk menjalin hubungan internasional. Unsur terakhir ini, kapasitas untuk
berhubungan dengan negara lain, memberikan dimensi eksternal pada kedaulatan, di
mana negara diakui sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat oleh kamunitas
internasional.1
Kedaulatan memiliki tiga aspek utama, Eksternal yaitu hak setiap negara untuk
secara bebas menentukan hubungannya dengan negara lain tanpa kekangan atau
tekanan dari pihak luar. Internal, yaitu wewenang eksklusif suatu negara untuk
mengatur system pemerintahan, lembaga, dan peraturan hukum dalam yurisdiksinya.
Terakhir yaitu Teritorial, yang mencakup kontrol penuh atas wilayah geografisnya
termasuk sumber daya alam yang berada di dalamnya. Dalam perkembangannya konsep
kedaulatan telah menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam konteks globalisasi
1 Kadek Rio Teguh Adnyana, 'Kedaulatan Negara Dalam Hukum Internasional', Jurnal Pacta Sunt Servanda, 3.2 (2022), 32--41.
dan intervensi internasional. Salah satu bentuk intervensi yang sering kali menimbulkan
perdebatan adalah penerapan Sanksi Ekonomi. Meskipun sanksi ekonomi dianggap
sebagai alat diplomatik untuk menegakkan hukum internasional, dampaknya terhadap
kedaulatan negara sering kali menjadi isu yang kontroversial. Negara yang dikenakan
sanksi sering kali kehilangan kemampuan untuk menentukan kebijakan domestik secara
bebas, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang legalitas sanksi tersebut dalam sistem
hukum internasional.2
Sanksi ekonomi atau ancaman sanksi tersebut, telah lama menjadi alat kebijakan
luar negeri yang utama, yang digunakan oleh negara atau organisasi internasional di
bawah kekuatan militer untuk mencapai berbagai tujuan, seperti mempertahankan
peraturan internasional, merespons pelanggaran hukum, mencegah konflik, serta
merespons atau menangani krisis yang sedang berlangsung. Sanksi ekonomi sering
digunakan untuk menyatakan ketidaksetujuan atau memberikan tekanan terhadap
tindakan atau kebijakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan global
atau internasional. Meskipun istilah "sanksi ekonomi" tidak memiliki definisi khusus,
mereka dapat dipahami secara luas sebagai tindakan pembatasan yang berfokus pada
aspek komersial atau keungan negara, yang bertujuan untuk merusak kepentingan
ekonomi negara lain, individu, perusahaan, atau entitas hukum, dengan tujuan untuk
mencapai tujuan kebijakan luar negeri tertentu. Berbeda dengan kebijakan ekonomi
lainnya, yang mungkin diterapkan untuk memenuhi berbagai kepentingan baik ekonomi
maupun non-ekonomi negara, sanksi ekonomi bersifat koersif dan menargetkan secara
langsung. Tujuan utamanya adalah untuk mempengaruhi perilaku atau mengubah
keputusan politik negara lain atau individu yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan
dan pembuatan keputusan tersebut. Sanksi ekonomi biasanya digunakan sebagai bagian
dari kebijakan internasional untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia,
mengutuk atau mencegah agresi militer, membatasi terorisme, mengurangi penyebaran
senjata, serta mendukung proses demobilisasi militer dan pembangunan setelah konflik.3
Sanksi ekonomi terhadap Negara biasanya mencakup langkah-langkah seperti
embargo perdagangan, pembatasan impor dan ekspor, serta pengaturan transaksi
keuangan, sementara sanksi terhadap individu atau lembaga hukum dapat melibatkan
pembekuan asset atau pembatasan transaksi bisnis serta akses terhadap layanan
tertentu. Sejarah panjang penggunaan sanksi ekonomi menunjukkan bahwa mereka
adalah salah satu alat yang paling kuat yang digunakan oleh negara-negara untuk
melaksanakan tujuan kebijakan luar negeri mereka. Namun, meskipun efektif sebagai
alat diplomatik, penerapan sanksi ekonomi tidak lepas dari tantangan hukum
internasional. Sanksi ekonomi sering kali berada di garis tipis antara langkah-langkah
yang sah dalam pengaturan ekonomi internasional dan tindakan illegal yang dapat
melanggar kewajiban negara-negara di bawah hukum internasional. Walaupun sanksi
ekonomi menempati posisi penting dalam sistem hukum internasional sebagai cara
untuk menegakkan dan melaksanakan tanggung jawab negara, garis batas antara yang
2 Adnyana.'Kedaulatan Negara Dalam Hukum Internasional', Jurnal Pacta Sunt Servanda , 3.2 (2002), 32-41
3 Anna Ventouratou, 'Litigating Economic Sanctions', Law and Practice of International Courts and
Tribunals, 21.3 (2022), 593--640 <https://doi.org/10.1163/15718034-12341491>.
sah dan yang illegal dalam penerapannya, khususnya sanksi yang menargetkan negara
atau entitas lain, belum sepenuhnya didefinisikan dengan jelas.4
Dalam penelitian ini, fokus akan diberikan pada kelegalan sanksi ekonomi unilateral
dalam kerangka hukum yang mengatur hubungan ekonomi antarnegara, serta peran
yang dapat dimainkan oleh badan pengadilan internasional dalam menentukan batas
antara sanksi yang sah dan yang melanggar hukum internasional. Untuk menguraikan
kerangka hUkum yang mengatur kelegalan sanksi ekonomi, sanksi ini dapat diterapkan
melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau secara unilateral oleh negara tertentu.
Dalam konteks PBB, sanksi ekonomi merupakan alat utama yang digunakan oleh
organisasi ini untuk mempertahankan atau memulihkan perdamaian dan keamanan
internasional. Pasal 39 dan 41 dari Piagam PBB memberikan Dewan Keamanan PBB
kewenangan untuk menginstruksikan negara-negara anggota PBB untuk menghentikan
hubungan ekonomi mereka dengan negara tertentu sebagai bagian dari langkah-langkah
untuk memastikan kesetiaan negara tersebut terhadap keputusan yang dibuat oleh
Dewan Keamanan. Selain itu, Pasal 103 Piagam PBB menguatkan bahwa kewajiban
negara-negara anggota PBB di bawah Piagam ini harus diutamakan jika terjadi konflik
dengan kewajiban mereka dalam perjanjian internasional lainnya. Namun, negara-
negara juga dapat melaksanakan sanksi ekonomi secara unilateral, tanpa keterlibatan
PBB, baik secara individual atau dalam koalisi dengan negara lain. Sanksi unilateral ini
dapat mencakup langkah-langkah seperti penghentian bantuan pengembangan atau
manfaat finansial lainnya, yang pada dasarnya tidak melanggar kewajiban internasional
negara yang menerapkannya, karena negara yang dikenakan sanksi tidak memiliki hak
hukum untuk menuntut perlakuan khusus. Meskipun demikian, sanksi ekonomi unilateral
tetap harus dijustifikasi secara hukum, atau negara yang menerapkannya dapat
menghadapi tanggung jawab internasional.5
Penelitian ini akan menganalisis peran yang dimainkan oleh badan pengadilan
internasional dalam menentukan batas antara sanksi ekonomi yang sah dan yang
melanggar hukum internasional. Untuk memberikan kerangka hukum yang lebih jelas,
Jurnal ini akan mengeksplorasi bagaimana sanksi ekonomi dapat diterapkan melalui
mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau secara unilateral oleh negara
tertentu. Dalam konteks PBB, sanksi ekonomi adalah alat utama yang digunakan untuk
mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional. Jurnal ini juga akan meneliti
bagaimana sanksi ekonomi, meskipun sering digunakan untuk tujuan mulia seperti
penegakan hak asasi manusia atau pencegahan konflik, dapat menimbulkan dampak
negatif yang signifikan bagi negara target. Dampak tersebut meliputi pembatasan
kemampuan negara untuk menentukan kebijakan domestic, ketergantungan pada pihak
luar, hingga pelanggaran terhadap hak-hak dasar rakyatnya. Dengan menyoroti kasus-
kasus seperti Iran, Rusia, dan Korea, bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih
dalam mengenai peran sanksi ekonomi dalam hukum internasional modern serta
batasnya dalam menjaga keseimbangan antara keadilan global dan penghormatan
terhadap kedaulatan negara.
4 Ventouratou, 'Litigating Economic Sanctions' , Law and Practice of International Courts and
Tribunals, 21.3 (2022), 593-640 <https://doi.org/10.1163/15718034-12341491 >.
5 Anna Ventouratou, 'Litigating Economic Sanctions' , Law and Practice of International Courts and
Tribunals, 21.3 (2022), 593-640 <https://doi.org/10.1163/15718034-12341491 >.Ventouratou.