Hhh....hhhhalooo.......!. Apakah anda pernah berbicara atau menjawab telfon dengan lawan bicara yang sangat susah sekali berbicara atau berbicara seperti orang gemetaran sewaktu melafalkan suatu kata sehinga ada pelafalan kata yang panjang, berulang-ulang, dan bahkan suara yang di hasilkan tidak terdengar sama sekali yang diselingi dengan jeda ?. Ya barangkali anda pernah atau sering bertemu dan berbicara dengan mereka baik itu teman, orang yang baru anda kenal atau bahkan angota keluarga anda sendiri. Mereka yang menggalami ganguan berbicara seperti ini disebut dengan stammering (stuttering) atau dalam bahasa Indonesia disebut istilah “gagap”.
(di unduh di google)
Ganguan bicara seperti ini memang tidak nyaman baik bagi si penderita sendiri atau lawan bicara mereka. Bagi si penderita untuk memulai suatu pembicaraan, percakapan atau menjawab telfon adalah merupakan suatu usaha yang sangat besar dalam melawan rasa gugup dan tertekan (stress) kalau-kalau kata-kata yang diucapkan tidak dapat atau sangat sukar sekali untuk di ucapkan. Bagi lawan bicara mungkin terasa membosankan atau bahkan merasa kasihan, koq mereka berbicara seperti itu dan bahkan anda langsung menutup telfon sewaktu mereka mengangkat, karena tidak ada orang yang menjawab sapaan halo...anda?. Sehingga lawan bicara biasanya langsung menarik diri dari percakapan dan bagi orang yang “gagap” ini akan merasa malu, menyesal, marah , takut dan merasa bersalah. Pada umumnya penderita yang mengalami ganguan bicara ini akan menarik diri dari pergaulan. Bahkan ada juga dari sebagian mereka yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi, ini mungkin terjadi karena adanya dukungan dari keluarga atau orang-orang di sekitar mereka.
Saya adalah salah satu penderita gangguan bicara atau “gagap” ini. Beberapa anggota keluarga saya juga mengalami hal yang sama, seperti adik perempuan dan juga ada salah satu keponakan. Gangguan seperti ini sudah saya alami sejak saya di sekolah dasar. Pada umumnya teman-teman saya selalu mengejek setiap kali saya bicara, hal inilah yang menyebkan saya merasa rendah diri dan selalu menarik diri dari pergaulan terutama bagi orang-orang yang pertama sekali saya kenal. Sehingga kemauan untuk bersosialisasi dengan orang lain jadi terganggu. Dalam keseharian saya hanya mempunyai teman yang dapat di hitung dengan jari.
Ganguan bicara yang saya alami tidaklah separah yang dialami oleh teman saya yang lain, saya masih bisa mengontrol diri dan tidak akan bicara kalau saya merasa tak siap untuk bicara. Dalam kegiatan berinteraksi sehari-hari dengan teman ataupun kegiatan disekolah, saya akan memilih kegiatan yang tidak terlalu banyak mengandalkan bicara. Misalnya, kalau di zaman saya SD atau SMP dulu setiap hari Senin selalu ada upacara bendera, maka peran sebagai komandan, sebagai pembaca Pancasila dan UUD 1945 tidak akan pernah saya ambil. Pasti peran yang saya ambil adalah pengerak bendera karena peran ini tidak akan mengeluarkan suara apa pun. Pelajaran yang paling tidak saya sukai dulu adalah kalau disuruh tampil kedepan untuk menyanyi atau baca puisi. Ternyata terapi ini sangat-sangat membantu sekali kepada penyembuhan dari gagguan bicara ini. Tetapi kadang-kadang muncul juga, tetapi intensitasnya tidak terlalu tinggi, ketika saya tidak siap untuk bicara, misalnya saat saya dalam kondisi tertekan atau stress.
Sewaktu di SMA dan perguruan tinggi ganguan bicara ini bisa saya kendalikan, sehingga intensitas munculnya tidak sering, biasanya ada siklusnya seperti 6 bulan sekali atau setahun sekali disituasi dimana saya tidak bisa mengelola stres atau emosi yang tidak terkontrol. Sehingga teman-teman saya mungkin tidak menyangka bahwa saya adalah penderita gangguan bicara tersebut. Waktu memilih jurusan di perguruan tinggi tentu jurusan-jurusan yang memerlukan kemampuan untuk bicara dan interaksi dengan orang lain tidak saya ambil seperti: ilmu Hukum, Komunikasi dan Hubungan Internasional. Walaupun waktu itu cita-cita saya mau bekerja di lembaga-lembaga internasional menjadi tidak dapat diwujudkan. Sehingga sewaktu di SMA dan perguruan tinggi saya memlih ilmu IPA dengan berharap tidak terlalu banyak berinteraksi dengan orang lain dan hanya berinteraksi dengan benda mati. Tapi takdir diciptakan lain, dimana saat sekarang ini saya malah dituntut untuk banyak bicara.
Pada suatu hari saya menonton suatu acara documenter di BBC, dimana acara documenter adalah acara yang paling saya sukai, judul dari acara tersebut adalah “The Stuttering School”. Di film tersebut diilustrasikan penderita yang mengalami ganguan bicara yang menurut saya sudah parah sekali dan sudah sangat mengangu dan disaat itu usia mereka masih remaja, dimana mereka mengalami rasa rendah diri, marah, dan depresi terhadap ganguan bicara yang mereka alami. Kemudian mereka ini dibawa ke sebuah sekolah untuk diterapi, disini mereka diajarkan untuk mengontrol emosi dan pernafasan. Setelah berlatih beberapa lama kemudian mereka disuruh bicara di depan umum untuk meningkatkan rasa percaya diri. Diantara mereka ini ada yang pada mulanya tidak bisa bicara didepan umum sekarang sudah dapat bicara, walaupun ada diantara mereka yang memerlukan usaha yang sangat keras untuk memulai sebuah pembicaraan. Dengan terapi yang lebih baik tentu gangguan bicara ini dapat diatasi.
Bagi anda-anda, keluarga atau teman yang mempunyai gangguan bicara seperti ini jangan berkecil hati ternyata bisa disembuhkan walaupun tidak total. Saya tidak mempunyai informasi apakah di Indonesia sudah ada sekolah untuk terapi masalah gangguan bicara ini, setahu saya di UK dan Amerika sudah ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H