Saya sebenarnya enggan menuliskan artikel ini, namun begitu masifnya berita-berita yang membandingkan kondisi GMT sekarang dengan GMT pada 1983 lalu yang seolah menyudutkan rejim Soeharto.
Tentu saja saya bukan pendukung Soeharto, namun bukankah lebih baik bicara berdasarkan fakta?Â
Banyak (sekarang ini) yang menulis bahwa rejim Soeharto telah melarang masyarakat untuk menyaksikan GMT secara langsung. Bahkan orang yang dulu belum lahirpun sekarang berani menulis keadaan waktu itu seakan-akan mencekam seakan mengalami sendiri. Ada pula yang menuduh rejim Soeharto ingin menunjukkan dan menguji kekuasaannya apakah diikuti rakyat atau tidak.
Saya tidak tahu apakah ada maksud tertentu dengan mem-blowup cerita itu. Tapi pengalaman saya sendiri waktu itu sedang kuliah di Bandung bersama teman2 menyaksikan GMT 1983 di Panngandaran. Tidak ada hambatan dan tidak ada larangan berkunjung ke sana. Seandainya ada larangan menyaksikan, tentulah aparat telah memblokir jalan ke arah Pangandaran. Kami ke sana pun bukan sembunyi-sembunyi misalnya melalui jalur khusus. Kenyataannya di sana banyak juga masyarakat dari segala pelosok yang ikut menyaksikan.
Memang ada sosialisasi dari pemerintah bahwa menatap GMT secara langsung dapat membutakan mata. Dari berbagai sumber juga disosialisasikan bila ingin menyaksikan GMT harus menggunakan negatif film hitam putih  yang dibakar (di-expose ke cahaya) dan kemudian dicuci. Memang rasanya waktu itu belum ada yang menjual kacamata khusus seperti ketika GMT tahun 1988. Ada juga saran untuk melihat dari pantulan di air. Juga untuk menyaksikan dengan memproyeksikan ke atas kertas dengan bantuan teropong. (GMT tahun 1988 sudah ada kacamata khusus yang dijual).
 Kalaupun banyak masyarakat yang tidak berani melihat GMT sampai masuk ke kolong tempat tidur dan menutup segala lubang cahaya di rumah, dugaan saya itu disebabkan oleh mitos yang dipercaya mereka ketika itu; bukan karena larangan Soeharto. Maklum waktu itu masih banyak masyarakat yang belum melek pengetahuan. Internet belum ada dan stasiun televisi hanya ada satu.
Jadi, jangan bayangkan ada situasi yang mencekam ketika itu, dalam hal menyaksikan GMT. Biasa saja. Yang ingin menyaksikan di TVRI boleh, yang ingin menyaksikan di langsung juga boleh. Kalau jalanan sepi, wajar karena semua ingin menyaksikan GMT entah melalui TVRI atau menyaksikan di lokasi tertentu.
Anehnya juga kenapa GMT 1988 tidak di-blowup yang saat itu Soeharto juga masih berkuasa.
Saya juga penasaran dan mencari melalui internet apakah koran terbitan waktu itu ada yang secara eksplisit menyatakan larangan Soeharto itu, namun tidak ketemu (kalau ada yang bisa menunjukkan, saya bersedia minta maaf dan menarik tulisan ini). Nemunya malah siaran ini (sepertinya siaran TVRI).Â
Dari video ini jelas hanya mengingatkan dan BUKAN MELARANG. Ini transkripnya : "Di antara hal-hal yang penting ialah mengenai PENERANGAN kepada masyarakat luas sekitar BAHAYA yang ditimbulkan jika pada saat terjadinya gerhana matahari seseorang MENATAP LANGSUNG matahari. Guna MENGINGATKAN BAHAYA KEBUTAAN tersebut pemerintah melalui berbagai mass media sejak dini telah memberikan petunjuk dan peringatan kepada seluruh masyarakat. ... dst. " Dalam video ini menit ke 0:54 dijelaskan pula bahwa gerhana matahari adalah PERISTIWA ALAM BIASA dan diharapkan masyarakat tidak mengaitkannya dengan hal2 mistik.
Kalaupun aparat di daerah salah menginterpretasikan imbauan itu, maklumi saja. Banyak peraturan-peraturan yang disalahtafsirkan oleh aparat lapangan. Contohnya PNS yang hamil anak ke 3 tidak boleh cuti karena negara hanya menanggun sampai anak ke-2. Ini jelas salah kaprah karena cuti hamil tidak ada hubungannya dengan tanggungan negara.