Mohon tunggu...
Ulya Agustina
Ulya Agustina Mohon Tunggu... -

Punya banyak harapan, tapi satu yang pasti.. ingin memberi manfaat untuk orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam Tak Berujung

7 September 2013   10:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:14 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah lama aku meninggalkan kota ini. Ternyata banyak yang telah berubah. Bupati baru, Camat baru, Lurah baru, ketua Rt baru, dan tentunya suasana hati yang baru. Masih jelas dalam ingatan saat aku menghabiskan waktu bersama orang-orang yang menyayangiku dan tentunya aku juga menyayangi mereka. Bukan sebatas menghabiskan hari, tetapi kami memahami satu sama lain. Di desa, memang selalu menyenangkan, suasana kekeluargaan, suasana yang indah selalu dan selalu.

Kamis malam, sehari setelah aku menghabiskan 5 tahun mengabdi di pulau lain di negara ini, aku kembali ke tempat itu. Tempat di mana sejuta kenangan terukir, bukan karena cinta yang mendalam pada seorang teman melainkan saat aku dan teman-temanku mengalami kejadian aneh sepanjang kehidupan kami.

Udara dingin menelusup setiap pori kulitku, membuatku untuk kesekian kalinya merinding. Suasana ini memang selalu menakutkan, bahkan sampai umurku kini yang menginjak kepala 3, aku masih dibuat takut dengan semua ini. Meskipun begitu, tak pernah terbesit keinginan untuk meninggalkan tempat ini. Aku ingin mengenang segalanya. Segala tentang kejadian malam itu. Segala tentang apa yang aku lalui. Segala apa yang tidak berani aku pikirkan terlalu jauh,…

***

Aku, Riski, dan Seli. Kami berangkat sekolah seperti biasa, dengan tas yang sarat buku, sedikit bosan menunggu ibu guru masuk kelas, mendengarkan pelajaran dengan kantuk yang menggila. Memang tidak ada yang spesial dengan hari kami di sekolah menengah atas, kecuali kejadian itu…

Malam itu kami bertiga ditunjuk sebagai panitia acara persiapan perpisahan bulan depan. Malam beranjak larut. Sekitar pukul 11 malam, kami hendak pulang setelah menyudahi rapat dengan berbagai rencana apik. Untuk mencapai gerbang sekolah, kami harus melewati laboratorium IPA. Laboratorium yang selalu gelap selepas malam. Sunyi. Senyap. Penerangan yang hanya mengandalkan lampu luar sekolah yang redup dan sinar rembulan yang menerobos celah-celah ruang.

Berjalan bertiga memang selalu terasa menyenangkan. Masih jelas dalam ingatanku, ketika ospek yang mengawali pertemuan kami bertiga. Ketika itu, banyak hal-hal konyol yang kami bicarakan seperti kenapa cicak harus bersembunyi di siang hari, atau sekadar bernyanyi lagu galau anak muda. Kami dapat tertawa lama meski tidak ada 5 menit.

Tiba-tiba saja kami semua diam dan langkah kami terhenti. Sayup-sayup terdengar suara dari dalam Laborat. Kami tidak tahu itu siapa… yang kami tahu, semua siswa sudah pulang kecuali kami yang memang harus membereskan ruangan, dan ah ya… masih ada Pembimbing organisasi kita diruangan. Tetapi beliau di ruangan rapat, bukan di laborat., lantas mereka yang sedang berbicara didalam itu siapa??

Seketika aku memiliki ide. Aku meminta kedua temanku untuk menguping pembicaraan, sementara aku melihat situasi. Melihat kesana kemari dengan mata celingukan menerawang diantara gelapnya taman sekolah. Sungguh aneh, tiba-tiba saja teman-temanku berlari terbirit-birit meninggalkanku sendirian di lorong itu. Mereka berlari semakin menjauh dariku. Meninggalkanku sendiri, mematung berdiri di depan laboratorium yang gelap. Berencana lari, tentu. Tapi bagaimana? Dua orang yang bercakap-cakap di dalam ruangan tadi terlanjur melihatku yang sedang bersiap-siap lari.

Keduanya melihatku dengan pandangan penuh selidik, aku, tentu saja takut. Aku tak pernah melihat mereka sebelumnya, dan ya, aku sendirian di lorong yang terasa semakin mencekam malam itu. Kemudian mereka berdua seketika membekapku di dalam laboratorium dan melancarkan “misi”nya.

Entah mereka membiusku dengan apa sehingga aku tak mampu membuka mata barang sedetik pun. Tapi aku yakin, aku masih bisa mendengar suara hentakan kaki mereka, suaranya semakin lama semakin jauh. Aku pasrah. Aku tiba-tiba teringat akan sebuah cerita bapakku, sebagus apapun sekolah, pastilah ketika malam tiba akan mengerikan, pasti akan ada suara-suara yang merisaukan dan menggetarkan keberanian. Tuhan, bagaimana ini? Aku merinding, aku gemetar, aku takut.

Kadar merinding itu masih sama seperti hari ini, bedanya dulu ingin sekali aku lari. Namun sekarang, aku benar-benar merindukan tempat ini terlepas dari apa yang kualami malam itu. Terlepas dari muka mengerikan Pak Amir.

Kubuka kedua kelopak mata ketika aku mulai tersadar tanpa tahu berapa detik, berapa menit, ataukah berapa jam yang berlalu. Ketika kesadaranku benar-benar pulih, kulirik arloji di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 04.00. perih kurasakan pada tanganku yang terikat tali tambang berukuran sedang. Semakin sakit kurasakan, merah dengan lecet di sekitarnya. Aku meringis, sakit. Tak lama aku membuka mata, saat aku mendengar derap langkah seseorang menuju tempatku. Aku menutup mata lagi. Mendengar pintu di buka, hatiku semakin berdebar. Seketika bibirku sibuk membaca segala do’a yang masih dapat kuingat. Hanya pada-Nya aku berserah.

Semakin dekat dengan tempatku di dudukkan. Seseorang seperti menempelkan benda di dekatku. Membuat bulu kudukku berdiri.

“Benda apa itu? Adakah ia akan melukaiku?” Gumamku dalam hati. Sampai detik mendebarkan itu, aku masih belum berani membuka mata. Aku belum berani untuk sekadar mengintip dari dalam kelopak mataku. Terkadang untuk beberapa hal, yang sangat menyesakkan adalah ketika sebenarnya kita memiliki kesempatan untuk mengetahui segalanya, tapi kita sengaja tidak mau membuka sedikit saja penglihatan kita. Hingga semua terlambat, dan kita menyesal amat dalam.

Seseorang itu menjauh dan hilang saat aku baru saja mulai berani membuka mata. Aku mendapati seorang lelaki paruh baya bersandar di tembok yang sama denganku. Aku kenal dia, dia adalah pemimpin rapatku (tadi) malam. Tuhan, dia penuh dengan tancapan pisau, jika aku tidak salah menghitung, itu lebih dari 5 tusukan di bagian tubuh yang berbeda. Manusia macam apa yang tega menghilangkan nyawa dengan cara sesadis ini? Siapa yang setega ini pada Pak Amir. Salah apa dia? Tak bisakah diselesaikan dengan pikiran? Kenapa harus nyawa? Aku berusaha mengeluarkan suara dari balik lak ban yang membungkam mulutku. Aku berteriak, tapi hening, sunyi, sepertinya sudah tak ada lagi manusia lain di bangunan ini. Tuhan, Apa yang bisa kulakukan untuk menolongnya?

Air itu menetes. Kudapati gerimis mulai berkejaran di luar gedung sekolah ini, gerimis itu bahkan tak bisa mengalahkan derasnya aliran di pipiku beberapa tahun silam. Mengingat ketakutanku dulu saat melihat kondisi pembimbing organisasiku yang paling mengerti kami seperti itu, bukan hanya ingin mengutuk siapapun yang melakukannya. Jika bisa, aku akan melemparkan ranjau tepat di kepalanya. Meledak! Itu lebih baik.

***

Paginya, aku ditemukan oleh seorang pembawa kunci laboratorium yang setiap pagi bertugas membuka semua ruangan di sekolah. Bukan kepalang kagetnya Pak Ahsan ketika melihatku diikat di pojok ruangan bersama seseorang yang penuh dengan pisau di tubuhnya di dekatku. Bergegas dia melepas ikatan tali di tubuhku. Menyenggol beberapa luka di tangaku. Aku tahu, saat itu pukul 06.00 pagi, aku meraung-raung dari dalam lakban yang menempel erat di mulutku selama hampir 2 jam. Aku lelah sekali. Meski tak bisa mengalahkan lelah teriakan batin di dadaku.

Belum sempat aku bernafas dan menata batinku, aku digandeng Pak Ahsan ke ruangan kepala sekolah. Diinterogasi kesana kemari. Aku ceritakan semua. Kukatakan bahwa aku melihat jaket warna hitam dengan motif singa di punggung saat aku tersadar dari ketakutanku. Kepala sekolah bingung bukan main, itu aku simpulkan dari kerutan di keningnya yang bahkan anak kecil pun tahu itu bukan kerutan karena penuaan.

Sepuluh menit kemudian, aku mendapati Riski dan Seli dibawa masuk ke ruangan kepala sekolah. Aku mengutuk mereka sejadi-jadinya. Bagaimana mereka tega meninggalkanku sendirian malam tadi, apalagi mereka senyum saat bertemu denganku, apa mereka tidak ingat? Sudahlah, bahkan tak ada sedikitpun cela di pikiranku untuk memikirkan hal lain selain nasib Pak Amir dan keluarganya.

Pagi ini jenazah Pak Amir dibawa pulang oleh keluarganya. Ada keanehan di sini karena aku tak melihat Bu Amir. Apakah mungkin ada sangkut pautnya dengan kondisi rumah tangga mereka yang santer terdengar sedang menuai konflik? Jangan-jangan… ah, itu bukan urusanku.

Ah ya, kembali ke temanku. Mereka juga bernasib sama dengaku, diberondong banyak sekali pertanyaan, mulai dari kenapa tiba-tiba lari begitu saja, setelah itu apa yang mereka lakukan, kenapa bisa tidak melapor pada satpam yang sedang berjaga, dan masih banyak lagi. Belum sempat aku menyimpulkan penjelasan dari kedua teman paling kejamku itu, suara sirine polisi mengganggu gendang telingaku.

Suara sirine polisi itu juga aku dengar malam ini, entah polisi sedang keliling, atau satpol PP yang sedang merazia mawar hitam. Aku menghela nafas panjang. Melihat jam tangan sekilas, pukul 20.00 sepertinya tidak mungkin jika itu adalah satpol PP. Aku teringat lagi saat pertama kali aku masuk ruang penyidikan di kantor polisi.

Aku dan kedua temanku dibawa ke kantor polisi untuk ditanya kesana kemari. Diruangan yang selalu terasa menegangkan itu, Riski dan Seli menjelaskan pada Briptu Nurdin tentang percakapan yang mereka dengar yang hanya sebatas adanya hantu di sekolah kami. Jelas aku tak percaya. Bagaimana mungkin mereka bercerita tentang hantu, sedangkan aku masuk agenda pembiusan? Masa iya mereka mendengar hal itu tapi yang kudapati malam itu adalah jasad Pak Amir yang…

Sekarang tiba giliranku bercerita, menjelaskan kejadian tadi malam dengan tergagap. Menjelaskan apa saja yang aku alami. Kesimpulan sementara pihak kepolisian adalah Pak Amir dibunuh oleh kedua pria yang membekapku tadi malam.

Satu jam berlalu dan aku masih di kantor kepolisian bersama kedua teman-temanku, mereka memanfaatkan waktu tadi untuk meminta maaf padaku. Well, meski aku masih merasa tidak dipedulikan oleh mereka tadi malam, tapi aku tetap harus memaafkan mereka. Toh memaafkan bukan berarti aku kalah dari mereka, itu tandanya aku sudah berani melawan keegoisanku. Aku pun tau, meminta maaf itu hal yang sulit, bagaimana mungkin aku tidak menghargai usaha sulit temanku? Kami berbaikan, tak ada lagi teman jahat.

Baru saja kami melepas jabatan tangan, aku melihat 3 orang dibawa masuk keruang pemeriksaan. Dua orang di antaranya adalah yang telah membekapku. Itu kuketahui dari jaket yang mereka kenakan sama persis dengan yang tadi malam. Setelah diinterogasi, Mereka mengaku memang membiusku, tetapi mereka bukan pembunuh Pak Amir. Bohong sekali.

Bukan, mungkin bukan bohong, karena memang aku tidak menemukan gambar singa di punggung jaket mereka. Lantas? Satu orang lain adalah bapak satpam tadi malam yang ternyata mengobrol dengan 2 orang yang membiusku. Sungguh mendengarkannya aku benar-benar meledak. Lalu maksud mereka berdua menyekapku tadi malam untuk apa? Kenapa malah setelah itu mengobrol? Aku bingung (lagi).

Aku menghela nafas panjang untuk kedua kalinya, di luar masih gerimis. semakin malam, aku semakin merinding. Semakin dingin udara di sini. Handphone ku berdering. Sebuah pesan singkat dari suamiku. Dia menanyakan keberadaanku sekarang, Aku sedang diruang laborat IPA di SMA ku dulu. Aku memang telah meminta izin pada satpam sekolah untuk masuk ke laborat, aku bilang kalau aku adalah alumni sekolah ini. Mungkin tanpa penjelasanku pun, satpam tentu sudah tahu siapa aku karena gara-gara kasus malam itu aku jadi terkenal. Aku yakin, suamiku di rumah sedang khawatir dengan apa yang sedang aku lakukan saat ini, tapi tak bolehkah sekadar mengingat ketakutan 13 tahun silam? Bukan hanya ketakutan,melainkan masa sibuk-sibuknya di sekolah ini. Bagaimana aku menghabiskan masa putih abu-abuku.

Aku adalah pengurus osis di SMA Harapan Bangsa ini. Aku menjabat sebagai sekretaris. Aku sangat menyukai kesibukanku. Biar bagaimanapun, aku mendapat banyak pengalaman darinya. Dan pembimbing yang paling aku segani adalah Pak Amir, beliau sangat sabar membimbing kami, menasehati dan memberi banyak pelajaran. Dari perbuatan sedemikian baik itu, kenapa beliau harus berakhir dengan cara begitu?.

Sampai saat ini, entah mengapa aku masih curiga kalau pembunuh Pak Amir adalah 2 orang yang membekapku malam itu. Namun, keputusan hakim menyatakan bahwa pembunuh Pak Amir adalah Pak Ahsan. Hal itu lantaran polisi menemukan jaket yang kumaksud malam itu ditemukan di kediaman Pak Ahsan.

Aku tidak percaya begitu saja. Bisa saja Pak Ahsan dijebak, mungkin seseorang telah meletakkan jaket itu di kamarnya. Pak Ahsan yang aku kenal selama 2 tahun aku menuntut ilmu di sekolah ini hanyalah seorang tukang kebun sekaligus pembuka pintu ruangan yang sangat ramah dan tak pernah setitik pun terlihat adanya kejahilan dari tingkahnya. Dengan murid-murid saja beliau hormat, apalagi dengan guru? Tidak ada sedikitpun perasaanku untuk menganggap bahwa beliau adalah pembunuh guru terbaikku. Sampai sekarang.

Ya sudahlah, daripada aku terus disini, semakin bingung dan semakin membuat suamiku khawatir dirumah, aku memutuskan untuk pulang. Aku beranjak menuju pintu laborat, tiba-tiba telingaku menangkap lagi suara seperti malam itu. Takut lagi, merinding lagi, seolah de-javu, suara itu, bayangan itu, suasana itu, seperti membawaku kembali ke malam 13 tahun lalu. Aku merasa dia sedang menatapku. Perasaanku mengatakan bahwa aku harus pergi secepatnya dari tempat ini. Namun kakiku terasa amat berat untuk kuangkat bagaikan tertancap dalam bumi. Membiarkan begitu saja, seseorang membekapku (lagi).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun