Sultan HB X menyatakan bahwa apa yang dilontarkan dalam Sabda Raja beberapa saat yang lalu merupakan perintah Tuhan. Jawaban ini ditujukan untuk adik-adiknya yang menentang sabda raja tersebut. Menurut mereka, isi Sabda Raja tersebut tidak sesuai dengan paugeran keraton. Kadang, agama Islam pun dibawa-bawa oleh para adik sultan ini saat menyikapi polemik keraton yang sedang berlangsung. Para adik sultan dan pihak-pihak yang menentang Sabda Raja tersebut berargumen bahwa Islam tidak mengenal pemimpin perempuan. Jadi, yang Sultan HB X lakukan adalah mencoreng adat dan agama.
Ini ambigu. Sejak kapan Keraton Jogja berlandaskan nilai-nilai Islam kecuali untuk “KTP”-nya? Mereka menentang penghapusan Khalifatullah tapi di sisi lain mempertanyakan pernikahan masa depan si calon pemimpin dengan Ratu Pantai Selatan. “Mana bisa ratu menikah dengan ratu?” begitu katanya. Padahal, mana ada Khalifatullah menikah dengan seorang ratu alam ghaib?! Tidak bisa kah mereka yang menentang Sultan berpikir seperti ini?
Pada post yang lalu, saya berpikir apa yang dilakukan Sultan juga sama ambigunya. Tetapi mendengar kata-katanya ini, saya jadi sadar bahwa keinginan Raja tidak mengenal apa yang dinamakan ambigu. Dalam yang namanya sistem monarkhi, peraturan paling utama yang bisa dirujuk adalah semua yang dikatakan Raja. Paugeran hanyalah formalitas belaka. Peraturan yang sejati adalah apa yang diputuskan oleh sang Sultan itu sendiri. Bahkan, bisa dikatakan bahwa sabda raja adalah sabda tuhan. Terdengar aneh di zaman modern ini? Memang. Karena kerangka pikir yang digunakan memang kerangka pikir ala monarki yang tidak cocok di alam yang demokratis. Tapi setidaknya ini konsisten.
Apapun yang dilontarkan Sultan, itulah yang akan menjadi peraturan. Tidak ada urusan dengan yang sebenarnya menjadi maksud dan tujuan Sultan. Mau itu untuk mengubah peraturan seksis diskriminatif atau sekedar ingin membuat GKR Pembayun menjadi Sultanah (?).... tidak ada urusan.
Dan pembahasan masalah ini, tidak ada hubungannya dengan UUK DIY. Sebab, ini baru masalah internal keraton. Belum masuk ke masalah jabatan gubernur yang diatur oleh Undang-undang.
sumber: DS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H