Kejahatan utama netizen di dunia maya –termasuk mungkin saya- pastilah komentar-komentar kejam yang tak akan pernah terdengar di dunia nyata. Dan di antara komentar-komentar tersebut, salah satu yang sangat saya benci adalah istilah “victim playing” atau lebih sering ditulis “play victim”. Istilah tersebut biasanya muncul tidak secara netral.
Artinya, Anda akan sangat jarang menemukan orang yang menganalisa tanpa bias suatu kejadian lalu memutuskan adanya sikap victim playing. Yang paling sering terjadi adalah penggunaan istilah victim playing untuk mereka yang terkena diskriminasi tapi kebetulan tidak dari kelompok SARA yang sama.
Satu contoh yang sering saya dengar adalah ketika umat agama terkena diskriminasi. Pembakaran gereja, pembunuhan umat Ahmadiyah, pengusiran warga Syiah Sampang, dll merupakan berita-berita yang paling digemari oleh mereka yang suka mem-victim playing-kan orang. Dan yang terakhir baru-baru ini tentu adalah tuduhan play victim pada kelompok LGBT dan mereka yang terkena imbas pembunuhan massal anggota PKI.
Victim playing sendiri saya yakin memang ada. Maksudnya, munculnya istilah tersebut juga bukan tanpa sebab. Dan bahkan meski sebab utamanya sangat bias sekalipun, kondisi real victim playing jelas ada.
Contoh yang langsung muncul di kepala saya adalah justifikasi tindakan Israel dan pengabaian terhadap status Palestina sebagai negara yang dilakukan banyak negara di barat. Alasan mereka sangat unik. Banyak yang menganggap bahwa pejuang Palestina itu selalu equivalent dengan “teroris”. Sedangkan Israel selalu dilihat sebagai korban dari mulainya holocaust hingga mereka kembali ke “tanah yang dijanjikan”.
Kita memang tak bisa menampik ngerinya holocaust. Tetapi menggunakan kartu tersebut beserta klaim bahwa pejuang Palestina hanyalah teroris jelas merupakan bentuk nyata victim playing itu sendiri.
Inilah kondisi yang akan saya sebut sebagai victim playing.
Dan propaganda seperti ini sebenarnya amat banyak dan tidak hanya ditemukan di luar negeri. Di Indonesia, kita bisa menyebut salah satu film “terpenting” dalam sejarah Orba: G 30 S PKI. Silahkan bandingkan film itu dengan film dokumenter The Act of Killing yang merupakan kesaksian asli dari pembantai PKI. Dan Anda akan paham mana yang pantas disebut victim playing dan mana yang tidak pantas disebut demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H