Mohon tunggu...
dunia senyap
dunia senyap Mohon Tunggu... -

homo sapiens

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ambigunya Semua Pihak dalam Polemik Sabda Raja Keraton Jogja ini...

10 Mei 2015   15:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:11 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mungkin buta. Tetapi hidup di Yogya dan dibawah kepemimpinan Sultan, saya merasa bahwa kota ini termasuk kota yang progresif. Bukan dari segi fisik. Namun lebih kepada nilai-nilai yang dianut. Tradisionalisme ala Jogja itu jauh lebih toleran dibanding progresifnya gerakan di kota besar di bawah naungan PKS dan sebangsanya.. Di Jogja, kejawen yang dianggap budaya kolot malah bisa menangkal gerakan islamist (mereka yang ingin menegakkan syariah) yang menyerang kota-kota di Indonesia. Lagipula, dari segi pribadi Sultan merupakan seorang raja dengan pikiran modern. Saya juga sangat suka dan sepakat dengan banyak sikap yang ditunjukkan GKR Hemas. Mereka jauh dari kata kolot, seksis, dan berbagai terminology sebangsanya... namun tentu terlepas dari fakta bahwa mereka masih mempercayai sistem pemerintahan turun temurun. Jadi ketika kemarin sultan menyampaikan sabda raja berkaitan dengan GKR Pembayun sebagai putri mahkota... saya jadi bertanya-tanya. Di satu sisi, saya senang bila raja Jogja ini tidak seksis dan patriarkis. Di sisi kedua, hal tersebut bisa jadi untuk melanggengkan kepentingan pribadinya. Di sisi ketiga, ketika sultan mengatakan bahwa keraton harus menyesuaikan dengan perubahan zaman, saya merasa agak ironis. Agak ironis karena bila demikian, dia seharusnya turun tahta sekalian. Sekarang katakanlah sang Sultan memilih mengubah tradisi keraton untuk tidak seksis. Ini adalah keputusan aneh karena tebang pilih. Sebab, ketika hal ini menyangkut kekuasaan sultan, maka ia akan berlindung dibalik “melindungi budaya leluhur” dengan tetap ingin Jogja dipimpin gubernur dari pihak keraton... Adik-adik Sultan pun saya kira sama anehnya dengan beliau. Saya geli sangat ketika mereka bukan semata berlindung di balik adat, namun juga dibalik agama Islam. Memangnya mereka tidak tahu kah kalau dalam Islam tidak dikenal kekuasaan turun temurun? Belum lagi, ketika kita menunjuk beragam upacara adat yang tidak sinkron dengan islam. Baju abdi dalem yang perempuan pun akan menjadi bahan bakar di neraka jahanam... Bukankah lucu lagi ketika seorang abdi dalem mengembalikan gelarnya karena merasa kesultanan ini sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai islam? Mungkin dia sama seperti saya, “buta”... Sumber: dunia senyap

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun