Suasana pagi itu masihlah sama , dengan pagi pagi lainnya, dipenuhi rinai embun...pagi itu kukayuh sepeda dengan perlahan menuju stasiun kereta dimana tiap kali akan berangkatkeTaipei menjadi tujuan utama , dan berbaur dengan sepanjang jalan aktifitas menuju stasiun mulai bergeliat....memang agak sedikitmalas.....ketika orang lainmemilih meminimalkan keluar rumah dikarenakan panas cuaca summer yang terik, dan kita memilih keluar rumah tanpa alat pengaman (baju tangan panjang),...ah tapi biarlah kulitku belang belang..yang penting tidak menjadi jenuh dengan menjadi seorangklayapers, masih lebih baik daripada diam saja di kamar tanpa aktifitas berarti..
Segera ku memarkirkan sepeda, di depan stasiun, harus dikunci , kalau enggak sepedanyadianggap tidak mempunyai pemilik, karena sepeda ditinggal dalam jangka waktu yang cukup lama. Ah , aku segera bergegas dan menempati tempat duduk dengan sedikit berdesakan, lumayan lah masih jauh kondisinya kalau dibandingkan kereta commuter Bogor Jakarta. Ada yang membuatku tertarik, ketika melihat keluarga kecil itu naik kereta,..seorang laki laki dan anaknya,kadang disertai seorang perempuan sebaya , sepertinya mereka keluarga kecil. Dari tatapan penuh tegas seorang ayah dan perlakuan penuh sayang seorang ibu tergambar jelas di interaksi mereka saat itu, memang suasana kereta telah penuh, dan tempat duduk menjadi sangat berharga, perjalanan Jhung Li ke Taipei cukup lumayan untuk hanya sekedar meneruskan mimpi yang tertunda. Dalam sistem transportasi di taiwan, untuk line prioritas diutamakan orang hamil, cacat, tua atau terluka (injured), kursi dibedakan warnanya menjadi biru,merah atau di beri tanda. Kebetulan kursi yang kududuki kursi publik, dan karena tidak tega melihat si anak yang kelihatan sedikit lelah, maka kucoba menawarkan tempat duduk kepada ayah si anak,...dengan bahasa mandarin yang terbata-bata. Ayah anak tersebut, malah tersenyum dan mempersilahkan aku untuk tetap duduk, atau menawarkannya ke orang lain,...setelah menawarkan ke beberapa orang, akhirnya ada juga yang mau menerima tawaranku untuk duduk,dengan perasaan yang heran aku kadang tidak habis pikir begitu susah sekali mencari orang untuk duduk.Pertanyaan-ku agaknya terjawab ketika lamat lamat mendengar suara ayah anak tersebut bicara..." Nak, ayah ingin kamu kuat, kursi itu bukan untuk mu....selagi masih ada yang lebih membutuhkannya...jangan lah engkau menjadi seorang yang lemah, kuat dan tunjukkanlah rasa hormat mu kepada orang lain,...kamu mengerti...sambil memeluk dengan penuh sayang, sang istri hanya tersenyum melihat perbincangan tersebut, dan seketika aku menjadi teringat ketika banyak orang yang suka pura pura tertidur, atau sibuk sendiri ketika kursinya dibutuhkan orang lain, mungkin termasuk aku juga.
hmmmm....aku hanya menarik nafas...dalam, begitu indahnya nasihat yang diajarkan. Disaat ego kita semakin tidak terkendali, empati semakin terdegradasi, di lingkungan dunia yang serba materialistis ini masih ada orang yang memperdulikan dan mengutamakan kepentingan orang lain yang lebih membutuhkan, akupun ingin seperti laki-laki itu mengajarkan bagaimana kita harus peduli dengan sesama. Kepedulian itu sejatinya awal dari perbuatan baik. Kursi hanya sebuah perumpamaan, kepentingan dan keinginan yang harus diselaraskan penuh keseimbangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H