Mohon tunggu...
farrah dina
farrah dina Mohon Tunggu... -

Seorang perempuan yang begitu menikmati berada di balik layar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dan Berpisah Adalah Cara Kita Mencinta

15 Mei 2011   13:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:39 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kereta kita berderit. Peluit panjang menandai senja yang menemani kita menuju kota itu. Aku sengaja memilih kereta ekonomi. Mungkin kamu gerah. Tapi aku perlu hiruk pikuk. Aku perlu bising suara tangis anak-anak, berlomba bersama suara penyanyi kereta juga deru kereta kita. Aku perlu semuanya demi meredam gelombang perasaanku yang kamu tentu tau seperti apa kacaunya. Aku tau pada akhirnya ini akan sia-sia. Sebab kamu pasti lah merasakan gelombang kekacauan ini. Kamu mengerti. Hanya dengan sekali menatapku. Selalu seperti ini, belum berubah.

Maka ku biarkan saja begini. Sesekali aku menatap wajahmu, hampir selalu di saat kamu memalingkan wajah. Kamu tau. Ya karena, karena aku harus menekan sekuat tenaga agar air muka ku tidak berubah. Sebab air muka ini akan membelokkan kembali keputusan kita. Berpisah.

Stasiun pertama pemberhentian kereta. Seorang bocah mendekatiku.

“Kak, aku mau nyanyi. Ada rikues?”

Setengah memaksa bocah ini kembali mengulangi kalimatnya. Aku menggeleng. “Terserah kamu saja.”

“Ah, pasrah kali kakak ini. Nggak enak awak jadinya. Jadi kalo lagunya nggak sesuai jangan marah ya.”

Maka mulailah dia bernyanyi.

Mengapa jiwaku mesti bergetar

Sedang musik pun manis ku dengar…

Harusnya tadi aku menentukan sendiri lagunya. Kamu tau lelakiku, lagu ini selalu, hampir selalu membuatku menangis. Selalu karena terkenang kamu dan cerita kita.

Sebait berlalu. Lalu ini lah lakumu wahai lelakiku. Kamu tak lagi memalingkan wajah. Tanganmu meraih tangan ku. Memaksaku menatapmu. “Bukankah kita menginginkah akhir yang lembut? Tanpa tangis? Jadi kita nikmati saja senja ini wahai gadis,” begitu isyarat matamu.

Mengapa dadaku berguncang

Bila ku sebut namamu

Sedang kau diciptakan bukanlah untukku

Kamu masih menggenggam tanganku. Ya, aku perlu menguasai perasaanku. Bukankah kita menginginkan perpisahan yang indah. Deru perasaan ini harusnya telah habis kemarin. Karena hari ini kita hanya ingin mengenang yang pernah ada lalu mewujud menjadi sebentuk perpisahan indah.

Pemberhentian kedua kereta kita.

Kamu ingat lelakiku, dulu kita pun pertama bertemu saat senja. Yang aku ingat wajahmu sehangat senja saat itu. Tanpa suara. Aku tak ingin tau namamu. Aku ingin begini saja. Kamu yang sehangat senja, aku, senja, dan udara kota kita. Itu saja cukup.

Pemberhentian ketiga kereta kita.

Aku tau, aku mulai menyukaimu. Dan entah kenapa selalu senja yang menghantarkanku padamu. Kalaupun ada hujan, itupun hujan saat senja. Senja tak pernah kehilangan hangatnya selepas hujan. Saat hujan mereda, aroma bumi selepasnya menjelma bersama senja. Masih hangat. Pernahkah aku cerita padamu bahwa aku begitu tergila-gila pada senja dan hujan? Belum? Lelakiku, senja itu hangat. Seperti cinta yang telah lama mewujud. Kita tak lagi meletup-letup. Bilang I love you semenggelora cinta anak SMU. Cinta masa itu sepanas matahari saat siang. Kita tak lagi ada di tahap itu, lelakiku. Tahu bahwa kamu baik-baik saja di sana, itu cukup. Mendoakanmu di setiap doa ku, melegakan. Dan menemukanmu hadir bersama senjaku, memberiku energi untuk menemui malam. Bagi kita beginilah mencinta. Lalu hujan? Ah ya, kamu pasti hapal aroma bumi selepas hujan. Hirup lah lebih dalam kekasihku. Buka kembali ingatanmu tentang rasa berada di rumah, di dekat orang-orang yang menyayangi kita. Tidakkah keduanya memiliki rasa yang sama? Maka begitulah aku mencintai senja dan hujan.

Pemberhentian ke sekian, di kota yang aku hampir lupa namanya.

Lalu waktu mengarahkan kita pada nasib yang belum ingin memihak kita. Waktu itu aku mengatakan belum karna masih ingin percaya pada doa-doa yang selalu kita hantarkan pada Tuhan. Tuhan tolonglah, Tuhan kami mohon, Tuhan begini lah, Tuhan kami ingin, dan entah apalagi. Kamu benar. Kita bertahun-tahun telah memperlakukan Tuhan seperti kotak ajaib. Kita terlalu angkuh mengaturNya untuk mengarahkan nasib seperti yang kita ingin. Kita egois. Seperti katamu, maka mulailah aku berdoa: “Tuhan, lelaki ini lah yang menemani saya menuju kebebasan yang saya inginkan. Dia ada, walaupun saya tak melihatnya, menyemangati saya dari jarak yang tak mampu lagi saya kira. Tuhan, kami hanya ingin mencintai dalam waktu yang tak lagi berjarak.” Lalu kamu bilang, aku masih egois. Lantas beginilah cara ku meminta, “Tuhan kami Yang Maha Kasih, bagilah kami yang terbaik menurut sangkaMu, amiin.” Begitu saja. Tiap pagi, siang, senja, juga malam. Tak ingin ku ubah lagi.

Tidakkah kamu kenali udara ini, lelakiku? Ya, kita hampir sampai.

Stasiun ini masih sama, selalu sama. Kamu tau kenapa aku begitu mencintainya? Dia setia, seperti waktu. Stasiun ini, sama halnya seperti waktu, menemani dan mengobati tiap hariku. Perpisahan kita begini saja. Bukankah kita telah sepakat untuk mengakhirinya dengan ikhlas? Airmata, tentu saja ada. Perpisahan adalah perpisahan. Seperti katamu, mengapa kita terlalu khawatir. Bukankah kita masih bisa berbincang lewat mimpi, seperti yang selalu ada. Ah ya, tampaknya kita masih harus percaya pada waktu. Kamu tau, dia yang akan selalu mengobati rasa sakit kita. Setidaknya melupakan sejenak kepenatan kita. Jadi, lelaki ku, mau kah kamu berlalu seiring kakiku beranjak? Mulai saat ini kita cintai saja rasa cinta kita. Sebab mulai detik ini kamu tak lagi boleh ku cintai dengan nyata. Kamu tau lelakiku. Gadismu kini tak ingin jadi perempuan histrionik yang akan tersedan di depan khalayak untuk perpisahan indah semacam ini. Aku ingin perpisahan yang lembut. Kenapa lagi kita perlu bersedih. Kisah kita telah lama disimpan oleh kota ini dalam aroma bumi selepas hujan. Ketika kamu merindukan ku, mintalah hujan pada Dia. Selepasnya, aku ada bersama aroma yang kamu hirup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun