Mohon tunggu...
Duhita Dundewi
Duhita Dundewi Mohon Tunggu... -

nothing special

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengurai Calon-Calon Pemimpin Jakarta: Dua Pasangan Serba Mepet dan Penuh Intrik (Bagian 1 dari 5 Tulisan)

15 Mei 2012   11:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:16 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sekarang saatnya memerhatikan dengan teliti enam pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. KPUD DKI Jakarta sudah menetapkan mereka sebagai pasangan calon (Jum’at, 11/5). Lima pasangan pasti tersingkir. Melalui satu atau dua putaran pemilihan. Kitalah, warga Jakarta, pemilik suara, yang berhak untuk mengangkat atau menyingkirkan mereka dari kendali kekuasaan Ibu Kota. Suara kita tidak didengar ketika partai-partai atau kelompok kepentingan itu memajukan mereka sebagai bakal calon. Tapi kita sungguh berkuasa untuk menyingkirkan mereka.

Waktu kita tinggal satu bulan ke depan untuk mengais-ngais informasi tentang mereka-mereka itu. Informasi dari media massa mainstream sungguh tidak bisa diandalkan. Kita harus hati-hati menyikapinya. Berita-berita yang tersaji sudah terkontaminasi kepentingan yang tidak ada urusannya dengan kriteria pemimpin yang benar bagi Jakarta. Isinya hanya memuji-muji secara berlebihan pasangan tertentu atau menjelekan pasangan lainnya. Apalagi informasi dari iklan politik dalam segala bentuknya. Sulit dipercaya!

Kita ingat waktu pencalonan mereka: FOKE-NARA.

Foke yang maju lagi sebagai incumbent nyaris tidak mendapat dukungan partai politik manapun. Dari dua puluh partai yang dulu (Pilkada DKI 2007) mengusungnya, tinggal Partai Demokrat, dan tentu saja besannya (PAN), yang akhirnya mengusung Foke. Kabar yang santer di wartawan adalah: Foke sudah ditinggalkan ‘bandar-bandar’ yang dulu membelikan dia dukungan partai. Selain itu, mereka juga sudah tidak mau lagi mengusung Foke, setelah menilai kinerjanya selama lima tahun ini. Dukungan dari Partai Demokrat, pun bukan lantaran prestasinya, melainkan lebih karena partai penguasa ini tidak memiliki calon yang mumpuni untuk memimpin Jakarta. Kader-kadernya hanya populer sebagai pelaku korupsi kelas kakap.

Setelah mendapat dukungan partai, Foke belum juga bisa langsung maju. Dia tidak punya pasangan. Pasangan lamanya, Prijanto, sudah lama bercerai dari Foke. Melepaskan jabatan Wakil Gubernur Jakarta, dan menyebut Foke sebagai gubernur yang tak becus berkordinasi sebagai sebabnya.

Foke kelimpungan. Dia tidak punya calon wakilnya sampai pada hari deklarasi pasangan. Restu SBY belum juga diterimanya sampai menit-menit terakhir. Para wartawan cekikikan di tempat deklarasi Foke, ketika menemukan fakta bahwa tim penggembira Foke telah menyiapkan tiga baliho besar bergambar Foke dengan tiga calon wakil gubernur yang berbeda.

Foke sendiri sebenarnya berhasrat bisa berpasangan dengan Adang. Dia sudah menjanjikan sejumlah besar mahar kepada Taufik Kiemas, jika PDIP mau mengusung dan memasangkan kadernya dengan dirinya. Gagalnya Adang Ruchiatna berpasangan dengan Foke menyisakan kabar yang boleh diyakini kebenarannya. Pertama, ada bandar yang sanggup membayar mahar lebih besar kepada PDIP. Kedua, soal alasan perlunya menggalang koalisi dengan Partai Demokrat, untuk menghadang PKS di Jakarta, sama sekali tidak menggerakkan koalisi besar seperti pada 2007. Lain Taufik Kiemas, lain pula Megawati, lain lagi PDIP, yang akhirnya mengusung Jokowi.

Batas akhir waktu pendaftaran pasangan calon kian dekat. Memasuki menit-menit akhir restu SBY akhirnya diberikan kepada Nachrowi Ramli (Nara)—teman seangkatan SBY di Akabri angkatan 1973, intel AD, Lembaga Sandi Negara, dan Ketua DPD PD DKI Jakarta. Nara bukanlah tokoh populer. Dari dua belas survei yang pernah dilakukan, popularitas tokoh ini terus berada di barisan bontot, apalagi elektabilitasnya. Foke-Nara akhirnya berpasangan, walaupun sungguh tidak ideal. Mereka adalah pasangan serba mepet, serba terpaksa, serba memaksakan diri, terlihat jelas dari cerita pencalonannya saja. Warga Jakarta harus menyingkirkannya dari kursi DKI-1. Pasangan ini bukan hanya tidak siap, melainkan juga diselubungi intrik politik, yang membuat kita boleh merasa jijik.

Jokowi-Ahok, juga pasangan yang tidak kalah hebat intrik politiknya. Mereka adalah pasangan campuran rasa kesal, tersinggung, ambisi pribadi, dan serba mepet. Kekesalan bermula dari Megawati ketika dia merasa di-fait acommpli oleh Partai Demokrat yang seenaknya saja memasangkan Foke dengan Adang Ruchiatna. Megawati juga tersinggung dan tidak mau mengikuti kata suami yang Ketua MPR itu, yang mau saja menerima ajakan Partai Demokrat untuk memasangkan Foke dengan Adang. Alasan perlunya menggalang kekuatan untuk menghadang laju PKS di Jakarta, kalah oleh desakan Prabowo. PDIP berkoalisi dengan Gerindra mengusung pasangan Jokowi-Ahok. Jadilah pasangan ini sebagai ajang eksperimen berbahaya bagi Jakarta.

Jokowi lagi beken. Hanya itu alasan yang dipunyai Jokowi. Bekennya Jokowi tidak ada kaitannya dengan standar kapasitas yang diperlukan untuk menjadi pemimpin Jakarta. Jokowi beken lantaran cerita relokasi PKL di Solo, mobil Esemka di Solo, dan kemudian baju kotak-kotak merah. Cerita-cerita kemudian di seputar Jokowi sungguh dipaksakan, dibesar-besarkan, tapi tetap tidak mengesankan. Bahkan cenderung..., lebay! Dia berpasangan dengan Ahok, yang tidak populer, tidak jelas kapasitasnya, dan tidak memerhitungkan resistensi dari warga Jakarta.

Pasangan ini datang dan mendaftar di KPUD DKI belakangan dikawal langsung oleh Prabowo. Kedatangannya yang belakangan, setelah pasangan Alex-Nono, seperti menegaskan segala sesuatu yang belakangan. Belakangan terpikir untuk menajdi gubernur Jakarta. Belakangan menemukan pasangan. Belakangan memikirkan Jakarta. Belakangan punya visi untuk Jakarta. Belakangan menemukan baju kotak-kotak. Belakangan dalam segala hal. Maka belakangan, warga Jakarta pun, siap untuk menyingkirkannya dari Jakarta. Karena belakangan baru disadari, Jokowi-Ahok hanyalah dua boneka jinak di tangan banyak kepentingan besar yang bersekutu atau berseteru. (Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun