Kesehatan itu fondasi, pendidikan adalah bangunan yang berdiri di atasnya. Tanpa fondasi kuat tidak ada bangunan kokoh. Adagium lama, mens sana in corpore sano, benar adanya. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Pendidikan menempa jiwa. Tapi jadi sia-sia jika raganya sakit. Itu sebabnya kesehatan manusia harus dijaga sejak masih berada dalam rahim ibunya. Karena seribu hari pertama kehidupan menentukan nasib manusia sepanjang hayat. Â
Pada seribu hari pertama itu, 80 persen perkembangan otak manusia terjadi. Itu bisa dicapai secara maksimal jika asupan gizinya memadai. Kegagalan mencukupinya bakal menghambat pertumbuhan otak anak juga fisiknya. Kekurangan gizi yang berakibat pada terhambatnya pertumbuhan anak itu disebut stunting. Anak-anak stunting, yaitu mereka yang tidak mencapai kapasitas otak dan fisik sesuai perkembangan umurnya, akan kesulitan menerima pelajaran di sekolah, mudah drop out, sering sakit-sakitan, tidak sanggup bersaing untuk mendapatkan high level job, juga rentan terkena segala macam penyakit mematikan di usia tua.
Jumlah anak stunting di Indonesia tidak main-main, yaitu lebih dari 35 persen dari seluruh populasi balita saat ini, atau setara dengan 9 juta jiwa. Ini berarti 1 dari 3 anak Indonesia adalah pengidap stunting. Bicara pendidikan dan pelatihan kepada anak-anak stunting sama saja dengan menggarami air laut. Bicara tentang bonus demografi Indonesia pada 2030, dengan memertimbangkan data stunting, layaklah kita cemas.
Perhitungan bahwa pada 2030 itu akan ada 70 persen penduduk Indonesia memasuki usia produktif (15-64 tahun), berbanding 30 persen penduduk yang berada di usia tidak produktif, sehingga 100 orang produktif akan memikul beban 44 orang tidak produktif harus dipertimbangkan lagi. Dengan begitu besarnya jumlah balita stunting, maka bonus demografi Indonesia belum pasti jadi berkah, malah lebih mungkin jadi bencana.
Di tengah gembar-gembor pemerintah mengampanyekan pembangunan fisik, yaitu tentang panjang dan ruas jalan tol yang menghabiskan jutaan kubik semen dan aspal, yang menghisap anggaran negara demikian besar, hingga pemerintah harus ngutang sana-sini, sampai-sampai tabungan haji ummat dipakai pula untuk keperluan itu, sebuah gerakan masyarakat lahir demi menyelamatkan satu generasi dari ancaman stunting. Gerakan masyarakat ini bernama Gerakan Emas. Prabowo Subianto yang menggagasnya dan sudah dideklarasikan pada 23 Oktober 2018 lalu, di Jakarta.
Gerakan Emas mengajak seluruh masyarakat untuk peduli terhadap masa depan Indonesia dengan menyelamatkan anak-anak dan ibu hamil dari ancaman kekurangan gizi. Emas adalah singkatan dari Emak dan Anak Minum Susu, sebagai simbol pemenuhan kebutuhan gizi anak sejak dalam kandungan, termasuk ibu-ibu hamilnya. Seluruh komponen dan lapisan masyarakat bisa terlibat dalam gerakan ini.
Empat tahun pemerintahan ini berkuasa, agenda utama pembangunannya memang bukan pada manusia melainkan pada segala sesuatu yag bersifat fisik. Kondisi darurat tentang ancaman stunting, gizi buruk, yang disebabkan oleh merebaknya kemisikinan, tidak menjadi perhatian pemerintah.
Bank Dunia sudah mengingatkan Indonesia dalam laporannya tentang modal manusia Indonesia yang demikian rendah sebagai akibat rakyatnya yang kekurangan gizi. Badan PBB bidang pembangunan juga melaporkan rendahnya indeks pembangunan manusia Indonesia, dan World Health Organization (WHO), juga badan PBB yang membidangi masalah kesehatan, menyebutkan bahwa ancaman gizi buruk dan stunting di Indonesia sangat akut, tidak menjadikan pemerintahan ini serius menangani masalah kesehatan masyarakat. Mereka terus saja menggenjot pembangunan fisik yang berbiaya sangat besar, hingga habis jatah untuk membeli susu bagi anak-anak dan ibu-ibu hamil di Indonesia. Padahal kesehatan itu adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Mengabaikannya bolehlah disebut sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Belakangan muncul kampanye Manusia Unggul dengan dukungan penuh dari pemerintah. Mereka mengritik bahwa gizi dan kesehatan saja tidak cukup, tapi harus juga dilengkapi dengan pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja untuk menghasilkan manusia unggul itu. Mereka tidak sadar bahwa pendidikan dan pelatihan akan menemui jalan buntu jika diberikan kepada anak-anak pengidap stunting. Mereka tidak juga tidak ngeh BPJS kedodoran menanggung biaya untuk kesehatan masyarakat. Ketika itu diadukan kepada pemerintah (presiden) dia malah mengganggap spele dengan menyebut, "masa urusan itu (pen: utang BPJS) harus sampai ke presiden?" Ini sungguh ironis, mengingat mereka begitu gencar mengampanyekan tentang Manusia Unggul.
Kembali ke soal bonus demografi yang hanya terjadi sekali dalam sejarah sebuah bangsa, seperti yang sudah dialami terlebih dulu oleh Jepang, Korea, China, dan Singapura. Ia akan menjadi berkah bagi Indonesia jika sekitar 180 juta orang Indonesia yang berusia produktif pada 2030 itu memiliki kondisi kesehatan yang baik, bekerja dengan penghasilan yang layak karena pengetahuan, keterampilan dan/atau kreatifitas yang dikuasainya. Jika ternyata mereka sakit-sakitan, tidak memilki pekerjaan yang layak, karena kurang pengetahuan dan tidak terampil, maka bonus demografi itu bukan hanya akan menjadi beban besar, melainkan juga bencana serius bagi Indonesia. Kondisi bertambah parah, jika presiden, selaku kepala negara sekaligus pemerintahan, enggan pula menanggapi problem jawatan yang mengurusi masalah kesehatan rakyatnya. Â Â
Akhirnya, mana yang lebih menjanjikan harapan bagi perbaikan generasi masa depan Indonesia, apakah Gerakan Emas yang bersahaja, atau Manusia Unggul yang sebatas retorika?***