Ia melaporkan, diskusi panas sebenarnya berpusat pada soal Human Capital Index (HCI) atau indeks modal manusia, di mana stunting menjadi salah satu dari empat indikatornya. Bank Dunia menjelaskan HCI bertujuan untuk menciptakan ruang politik bagi para pemimpin nasional untuk memprioritaskan transformasi investasi modal manusia di negara mereka sendiri.Â
Dunia sedang menunggu untuk melihat pada peringkat mana Indonesia berada? Laporan terakhir Bank Dunia, Indonesia adalah negara pengidap stunting keempat paling tinggi di dunia.
Faktanya, isu pembangunan nasional yang semarak di Indonesia bukan tentang manusia, melainkan infrastruktur. Tentang panjang dan ruas jalan dan jembatan, aspal, beton, dan gedung-gedung. Bukan tentang susu yang tak terbeli, gizi yang tak penuhi, Â bayi dan anak-anak yang kehilangan kesempatan emasnya, yang tak bisa menyelesaikan sekolahnya dan tak sanggup bersaing di dunia kerja yang semakin mengglobal.
Pemerintah Indonesia sekarang, seharusnya didesak untuk mengembalikan peran posyandu ke permukaan. Puluhan tahun lalu, katanya, posyandu menjadi darah kehidupan di desa-desa. Tapi sekarang, dari yang katanya ada sekitar 300.000 posyandu, tidak ada yang tahu berapa jumlahnya yang masih beroperasi, atau yang lebih penting lagi, kementerian mana yang bertanggungjawab menjalankan kegiatan sehari-harinya. Tidak jelas, bukan?
Pertanyaannya, masih bisakah kita berharap kepada pemerintah yang sekarang berkuasa di Indonesia sekarang untuk lebih memperhatikan susu dan gizi bagi ibu dan anak? Bukankah kesehatan, seperti halnya pendidikan adalah hak dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara? Tinimbang aspal dan beton demi citra politik? Jujur, saya pesimis. Tapi saya tidak pesimis pada kekuatan gerakan sosial di Indonesia.
Problem kesulitan pendidikan di pedalaman Indonesia pernah diterobos oleh sebuah gerakan yang disebut Indonesia Mengajar. Sekarang, masalah stunting dan kekurangan gizi pada ibu, anak, dan balita tengah diterobos oleh sebuah gerakan yang disebut GERAKAN EMAS, yang berpijak pada kekuatan masyarakat sendiri.***
Diramu dari berbagai sumber dan observasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H