Mohon tunggu...
Duhita Dundewi
Duhita Dundewi Mohon Tunggu... -

nothing special

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengurai Calon-calon Pemimpin Jakarta: Membaca Pesan (Bagian Terakhir dari 5 Tulisan)

26 Mei 2012   05:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:47 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerap muncul rasa penasaran yang sangat mengganggu, apa yang ada dalam isi hati dan kepala calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta itu. Ingin rasanya menyelam ke dalam hati mereka satu per satu, memreteli niatnya yang paling tersembunyi. Atau merambah alam pikir mereka, demi mengetahui bagaimana mereka memahami Jakarta, Ibu Kota Indonesia ini. Agar tidak perlu lagi Jakarta ini dipertaruhkan pada ketidakpastian.

Namun karena niat pribadi selalu tersembunyi. Alam pikir sulit diukur. Maka kita hanya bisa membaca apa yang kita lihat saja, mendengar apa yang mereka katakan, secara terang-terangan maupun bisik-bisik, untuk kita jadikan penanda niat dan pikiran mereka tersembunyi itu.

Membaca pesan-pesan kampanye mereka, baik-baik saja semuanya. Foke-Nachrowi, “Maju Terus,” katanya. Tapi tidak jelas betul maju ke mana yang dimaksudnya. Dan kalau melihat lima tahun perjalanan Foke, jika langkah yang telah ditempuhnya diteruskan, maka jalanan Jakarta akan bertambah sumpek, karena dia tidak pernah sungguh-sungguh membatasi populasi kendaraan. Jalan-jalan tingkat yang dibangunnya, hanyalah solusi parsial. Mal-mal akan terus dibangun, sambil terus beretorika tentang ruang terbuka hijau. Banjir, pun tetap menjadi langganan Jakarta. Soal pendidikan dan kesehatan gratis yang diklaimnya, rasanya terlalu normatif. Siapapun gubernur Jakarta bisa saja melakukan itu. Bahkan mungkin lebih baik dalam pelaksanaannya. Jakarta di tangan Foke, hanya akan terus memanjakan orang kaya, tak peduli benar dengan kaum bawah, itulah faktanya.

Nachrowi Ramli. Ambisinya sudah terlihat jauh-jauh hari. Ketika begitu banyak baliho-baliho besar di Jakarta, dengan pesan kampanye, “Menata Jakarta.” Pesan kampanye apa itu? Tidak simetris dengan kapasitas pribadinya sebagai Telik Sandi, yang separuh perjalanan hidupnya dihabiskan di ‘ruang gelap’ pekerjaan intel. Itu bukan petunjuk dari keinginan yang disembunyikannya. Apa yang berulangkali dia katakan di depan tim kampanyenya, lebih memberi petunjuk akan niat yang disembunyikannya. “Saya dan SBY kan sama-sama Angkatan 73 (Akademi Militer Magelang), masa dia bisa jadi presiden, saya jadi gubernur saja tidak bisa?” katanya. Begitukah? Itukah maksud sebenarnya? Apakah semua lulusan Akademi Militer tahun 1973 harus jadi penguasa di negeri ini? Hanya karena SBY jadi presiden? Betapa naifnya.

Hendardji Supandji-Riza Patria. Pasangan ini meneriakkan slogan, “Jakarta Hebat.” Penjelasannya, mewujudkan Jakarta sebagi pusat Megapolitan yang layak huni.Lebih rinci lagi mereka menyebut program unggulan berisi pendidikan gratis berkualitas selama 12 tahun, pelayanan kesehatan gratis berkualitas, Jakarta bebas banjir, membangun transportasi massal terintegrasi, serta menjamin keamanan dan ketertiban. Bagus ini. Visi dan program itu tidak muluk. Tapi begitu muluk tampaknya kalau dilekatkan pada pasangan ini. Mereka adalah pasangan independen yang bakal susa mendapatkan persetujuan DPRD dalam menjalankan pemerintahannya. Ingat baik-baik DPRD DKI itu adalah representasi rakyat Jakarta. RAPBD mereka akan terus menerus mendapat tentangan keras. Kalau mereka mau bersandar kepada para pemilihnya, maka pemilih yang dimaksudnya adalah para pemilik motor kreditan, yang KTP-nya diapakai untuk memenuhi syarat pencalonan pasangan ini.

Jokowi-Ahok. Mereka menawarkan, “Jakarta Baru.” Kita harus pastikan, seperti apa Jakarta Baru yang dimaksud pasangan ini. Ingat baik-baik, kata ‘baru’ berarti ‘berbeda dari yang lama.’ Kalau ‘baru’ yang dimaksudnya seperti ‘pakaian baju kotak-kotak itu,’ susah mempadankannya dengan Jakarta. Jakarta adalah perkara ruwet. Jakarta di-‘baru’-kan, apanya yang dibarukan? Toh dalam pengakuan Jokowi sendiri, “semua rencana yang ada sudah bagus.” Rencana Mana, Mas Jokowi? Bagaimana ini? Atau Jakarta Baru itu mau dipadankan dengan Orde Baru? Untuk membedakannya dari Orde Lama? Ini lebih tidak masuk akal lagi. Penalaran Jokowi rasanya tidak akan sampai ke sana. Yang masuk akal baginya mungkin hanya inisial J=Jokowi, B=Basuki. Untuk menunjuk nama depan pasangan ini. Lalu dicari-carilah J=Jakarta, B=Baru. Ini lebih simpel, bukan? Jadilah Jakarta Baru, yang sama sekali tidak jelas isinya.

Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini. Mereka mau, “Beresin Jakarta,” bunyi slogannya. Sepadan dengan “Ayo Benahi Jakarta,” slogan pasangan PKS tahun 2007 lalu. PKS atau HNW sendiri melihat Jakarta ini sebagai sesuatu yang semrawut, dan dia berniat membereskannya. Yang benar saja. Masa mau beres-beres belaka? Ini sih sama saja dengan visinya Hendardji Supandji-Riza itu: Megapolitan yang layak huni. Begitu? Spektrum pikiran gubernur, mosok sesempit itu? HNW tokoh nasional bukan? Masa lanskap pemikirannya begitu saja? Melihat Jakarta hanya sebagai tempat mukim, dari Ancol sampai Lenteng Agung? Dari Lebak Bulus sampai Kali Malang? Ooh, ayolah!

Ada kemungkinan lain. Ayo, Beresin Jakarta itu, adalah seruan bagi anggota dan simpatisan PKS untuk menguasai Jakarta. Membereskan moralitas masyarakat menurut ukuran moral PKS. Dengan kata lain, sebagai langkah ‘homogenisasi’ alias penyeragaman Jakarta. Ini lebih masuk akal. Apalagi kalau ingat 2014 menjelang. Didik, yang bukan kader PKS hanyalah varibel kecil untuk menutup dugaan itu. Toh, Didik tidak dicalonkan oleh partainya, PAN. Dia berpasangan dalam kapasitas pribadinya. Didik yang akademisi itu, sangat mungkin tidak concern dengan kalkulasi politik yang demikian halus.

Satu hal yang sangat bertolak belakang antara pesan kampanye PKS dengan tindakan semua kadernya. Mereka mau ‘Beresin Jakarta,’ tapi poster-poster HNW-Didik mengotori hampir setiap sudut Jakarta. Di rumah-rumah penduduk, tiang listik, bahkan pohon-pohon.

Faisal-Biem: “Berdaya bareng-bareng,” begitu seruan slogannya. Seruan itu sangat relevan dengan keadaan calon independen ini. Mereka memang terlihat tidak berdaya dalam banyak hal. Tidak berdaya mendapatkan dukungan partai. Untuk mengumpulkan KTP dukungan saja terseok-seok, harus bolak-balik ke KPU untuk melengkapi segala persyaratan administratif. Maka seruan ‘Berdaya Bareng-bareng,’ terasa sebagai teriakan permintaan tolong pasangan calon independen ini kepada seluruh warga Jakarta. Kenyataan itu memang selalu lebih keras dari kata-kata.

Nah, terakhir, Alex-Nono. Mereka sangat jelas memberi harapan, “Tiga Tahun Bisa!” Jika yang dimaksudnya, bahwa dalam tiga tahun bisa menyelesaikan tugas-tugas normatif seorang gubernur dan wakil gubernur, alangkah bagusnya. Macet dan banjir selesai dalam waktu tiga tahun. Biaya sekolah dan kesehatan gratis selesai juga dalam tiga tahun. Katanya lebih cepat lagi. Nono Sampono bahkan berani menjamin, masalah keamanan Jakarta bisa selesai dalam waktu satu tahun. Janji-janji pasangan ini simeteris juga dengan reputasi dan pengalaman yang mereka miliki masing-masing. Tapi pertanyaannya, apa yang akan mereka lakukan dengan dua tahun dari sisa periode pemerintahan pasangan Alex-Nono? Kita harus, bahkan wajib menggalinya lebih jauh. Kita harus mencari tahu alam pikir pasangan ini. Apa yang direncanakannya untuk Jakarta, seperti apa spektrum rencananya untuk Jakarta.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun