Enam pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta seperti sudah sepakat, masalah paling akut yang diderita oleh Jakarta adalah macet dan banjir. Mereka sama-sama mengaku sanggup mengatasi kedua masalah itu. Foke sudah terbukti gagal, tapi masih juga melontarkan janji-janjinya. Padahal, kalau kita urai satu per satu bukti kegagalannya, pantasnya Foke tidak maju lagi mencalonkan diri. Tapi rasa malu tidak pernah terlintas dalam pikiran Foke, dia terus saja mengaku sebagai ahlinya. Ya, dia ahli tata kota yang terbukti gagal.
Sekarang Foke berpasangan dengan Nachrowi Ramli, semakin jelas saja ketidakmengertiannya akan duduk perkara Jakarta. Nachrowi Ramli sepanjang karirnya berada di ‘ruang gelap’. Tidak pernah muncul ke permukaan dan menghadapi masalah publik secara terbuka. Maklum, dia mantan pentolan telik sandi, Lembaga Sandi Negara. Kedudukan Nachrowi tidak lebih dari sekadar pelengkap administrasi pencalonannya. Nasibnya kelak, tidak akan jauh beda dengan Prijanto, mantan wakilnya Foke, yang juga mantan asisten teritorial itu. Tidak akan bisa berbuat banyak. Membiarkan pasangan ini memimpin Jakarta sama dengan menyetujui problematika Jakarta berlangsung lebih akut. “Maju Terus,” slogan pasangan ini, hanya akan menjerumuskan Jakarta ke dalam kondisi yang lebih parah lagi, jika warga Jakarta mengikutinya.
Jokowi, yang berpasangan dengan Ahok, sama sekali tidak simetris dengan tuntutan kebutuhan Jakarta. Jokowi adalah nama yang muncul dari dinamika internal PDIP sendiri. Kekuatan arus bawah yang tidak bisa ditahan, serta lobi politik yang dilancarkan oleh Prabowo (Gerindra), yang melihat celah untuk menguatkan posisinya dalam pertarungan Pilpres 2014. PDIP hanya mengakomodasi kepentingan konstituen dan (sangat mungkin) transaksi politik elit tingkat tinggi. Kebutuhan akan pemecahan masalah Jakarta bukanlah prioritas. Inilah sebabnya, kampanye Jokowi-Ahok terus berkutat menjual-jual kepribadian Jokowi yang tidak ada hubungannya dengan penanganan masalah Jakarta. Betapa Jokowi kebingunan ketika ditanya soal rencana strategisnya dalam memecahkan problematika Jakarta. Dia terlihat naif, tidak punya rencana apapun untuk Jakarta. Jokowi berulang kali bilang, “semua rencana yang ada sudah bagus,” namun tidak pernah sanggup menunjukkan rencana yang mana dan seperti apa yang dimaksudnya.
Ahok adalah variabel penuh misteri. Sejauh ini tidak ada jawaban yang meyakinkan, kenapa dia sampai dipasangkan dengan Jokowi. Perhatikan saja, untuk bisa diusung oleh Gerindra dan PDIP menjadi calon wakilnya Jokowi, Ahok harus mundur dari keanggotaannya di Fraksi Partai Golkar DPR. Dia juga bukan tokoh populer di Jakarta, dan memikul beban ‘primordial’ yang tidak main-main. Soal bagaimana menangani masalah Jakarta dalam kapasitasnya sebagai calon wakil gubernur pun tidak jelas. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana kalau Ahok dihadapkan pada masalah kerusuhan yang mengancam keamanan Jakarta, misalnya. Sepersepuluhnya saja dari peristiwa Mei 98. Akankah Ahok sanggup berdiri di depan, menghadapi massa yang beringas? Saya tidak melihat rujukan dalam perjalanan karir Ahok. Selepas dia jadi pengusaha (2005), kemudian menempuh karir politik dengan menjadi bupati, tidak ditemukan jejak yang memerlihatkan kemampuannya dalam menangani isu keamanan.
Hidayat Nur Wahid dan Didik J. Rachbini sangat mudah dipahami. HNW adalah kartu terakhir yang dimainkan oleh PKS, setelah jagoan-jagoan PKS gagal dilamar oleh calon gubernur lain, karena maharnya yang terlalu tinggi (mendekati angka seratus miliar rupiah). HNW memang tokoh yang kuat, tapi hanya di kalangan PKS sendiri. Maklum ideologi Islam yang diusung PKS kontras berbeda dengan Islam ke-Indonesiaan seperti yang dirumuskan dan dipraktikan oleh kaum Nahdiyin. Pengambilan Didik menjadi calon wakil adalah usaha PKS untuk meluaskan konstituennya. Tapi ini tidak akan banyak berarti. Didik adalah kader PAN, partai yang asal-usulnya berbasis Muhammadiyah. Sama-sama wahabi seperti PKS. Dan kalau dilihat kapasitas personal Didik sendiri, dia sesungguhnya akademisi dalam arti sebenarnya, tidak pernah terjun langsung dalam praktik politik, apalagi penanganan masalah pemerintahan dan pembangunan daerah. Di Depok saja, ketika dia maju dalam Pemilu Legislatif 2009, Didik gagal, kalah. Masyarakat mana yang pernah mendapat sentuhan langsung Didik, selain mahasiswa yang menerima kuliahnya di kampus-kampus?
Pasangan HNW-Didik sama saja, tidak simetris dengan tuntutan kebutuhan pemerintahan dan pembangunan DKI Jakarta. Naif rasanya menyodorkan masalah problematika Jakarta yang bersifat riil, dalam artian perlunya pemecahan teknokratik-sistemik dan kepemimpinan yang tegas, lalu dijawab dengan moralitas gaya HNW. Disodorkan kepada Didik, pastilah mendapatkan jawaban teoritis ala akademisi. Pasalanya, kedua pasangan ini nir-pengalaman (tidak punya pengalaman) dalam pemerintahan kota setingkat provinsi. Apalagi Daerah Khusus Ibu Kota.
Didik J. Rachbini kapasitas teoritis-akademisnya mungkin setara Faisal Basri. Kita hanya akan medengarkan telaah kritis Faisal, seperti yang kerap dilontarkannya. Faisal juga nir-pengalaman, menghadapi problem mendasar karena dirinya tidak mendapat dukungan partai. Jika ia memegang tampuk pemerintahan, dijamin roda pemerintahan dan pembangunan Jakarta bakal tersendat-sendat, karena tidak mendapat persetujuan DPRD Jakarta. Biem Benjamin, tidak bisa diharapkan. Untuk menjadi tokoh saja, dia belum layak, tidak punya reputasi pribadi yang dibangunnya sendiri. Sampai sekarang, dia masih saja numpang beken nama bapaknya. Hanya untuk keperluan mendulang suara belaka, Biem diajak oleh Faisal, yang belum tentu menjadi preferensi pemilih Jakarta. Kita tidak ingin proses pemerintahan dan pembangunan Jakarta menjadi tersendat-sendat karena pasangan calon independen ini.
Satu lagi pasangan calon independen, Hendardji – Riza, tidak perlu banyak dibahas. Pasangan ini adalah boneka yang dimainkan Foke untuk menghadang Faisal – Biem. Sebagian besar KTP dukungan yang berhasil mereka kumpulkan berasal dari jaringan kredit motor di Jakarta. Kita tidak bisa berharap banyak, pasangan ini benar-benar bisa memikirkan problematika Jakarta dan penanganannya.
Tinggal sekarang pasangan Alex-Nono. Pada diri Nono Sampno saja kita sudah melihat kualifikasi seorang gubernur. Dia Letnan Jenderal Marinir (Purn.) Nono Sampono. Besar dalam tradisi kelautan Indonesian, jelas didikan marinir, terlibat langsung dalam dinamika dan gejolak politik Ibukota sejak tahun 1976. Problem dia hanya soal popularitas saja, meski pangkat dan profesinya sama dengan Ali Sadikin. Kita semua tahu, dasar-dasar kepemimpinan yang kuat dan tegas sudah melekat dalam jiwa setiap prajurit. Nono yang pernah terjun langsung dalam penanganan kerusuhan Jakarta Mei 98 (baca: bagin 2 dan 3 dari tulisan berseri ini) sudah memerlihatkan kualitasnya. Dia penuh keberanian, tapi juga punya hati. Tidak berlebihan ketika Nono menyatakan kesanggupannya menyelesaikan masalah keamanan Jakarta hanya dalam satu tahun pemerintahannya. Karena menurutnya, proses pemerintahan dan pembangunan bisa berjalan dengan baik jika ada jaminan keamanan. Dan yang disebut Jakarta oleh Nono bukan hanya dari Ancol sampai Lenteng Agung, melainkan termasuk batas perairan di utara Kepulauan Seribu.
Ketika muncul slogan “Tiga Tahun Bisa” dari pasangan ini, saya melihat segala hal yang serba kebalikannya dari pasangan-pasangan lain. Saya melihat relevansi. Kalau Alex Noerdin sudah sanggup membangun kawasan Jakabaring yang luasnya sekitar 350 hektare, diubahnya menjadi kawasan olah raga untuk pertandingan bertaraf internasional, hanya dalam waktu 11 bulan, tidak ada alasan baginya untuk tidak sanggup menyelesaikan kemacetan dalam waktu tiga tahun. Menggratiskan biaya sekolah dan kesehatan lebih cepat lagi. Dan menyelesaikan masalah keamanan dalam waktu satu tahun. Alex dan Nono sudah sama-sama melakukan kajian mendalam, masalah yang mendasar di Jakarta sesungguhnya bisa diselesaikan dalam waktu tiga tahun saja. Dan Kuncinya adalah kombinasi pasangan pemimpin yang pas. Bukan pada macet dan banjir itu sendiri. Karena macet dan banjir adalah akibat dari ketidaksanggupan pemimpin yang lemah.
Dalam waktu tiga tahun, masalah-masalah mendasar di Jakarta itu harus sudah diselesaikan oleh Alex dan Nono. Agar cukup waktu bagi Jakarta menegaskan lagi posisi pentingnya sebagai Ibu Kota Indonesia, di mana problematika lokal, nasional, dan regional berjalin bekelindan. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H