Raut wajah sendu itu tak banyak bercerita. Bibir mungilnya memang selalu tertutup rapat, sulit mengharapkan tegur sapa. Tapi mata sayu itu dapat berbicara, layaknya kawan lama yang sudah sering mengungkapkan rasa.
Dulu kamu selalu menyendiri di pojok mesjid itu menghayati ayat-ayat yang kamu baca perlahan. Sambil membungkukkan badan atau bersandar di dinding keramik, membiarkan angin meniup wajah manismu dari jendela kaca yang terbuka, seakan kamu ingin menyatu dengan hembusan demi hembusan yang diterpakannya pada setiap desah nafasmu. Begitu, dan selalu begitu.
Awalnya, kupikir kamu seorang gadis pendiam. Yang menutup diri dari segala macam pergaulan wanita seumurmu. Ya, tentu saja aku menduga demikian. Karena hari-harimu selalu dihabiskan di tempat-tempat pengajian atau di sudut mesjid kuliahan. Sudah berapa lamakah kamu mengisi waktumu dengan kegiatan seperti ini? Setahun, dua tahun, enam tahun atau sepuluh tahun? Aku sendiri tak pernah menghitungnya.
Sehari setelah perkenalan kita, aku merasa kamu wanita yang sangat sempurna. Hampir seluruh waktumu habis didedikasikan untuk sesuatu yang dinamakan pekerjaan atau hobby. Gaya dan lagumu melebihi kecerdasan yang kumiliki, kamu pintar bicara politik bahkan mengalahkan seorang politikus, kamu pintar bicara kebijakan bahkan ilmumu tak terjangkau oleh eksekutif maupun legislatif, lebih dari itu kamu sangat menguasai masalah agama bahkan ulama sekali pun tak dapat mematahkan argumen-argumenmu.
“Aku mencintaimu karena kecerdasanmu.” Kataku suatu ketika. “Namun yang aku sayangkan, kenapa kecerdasanmu hanya terungkap lewat status di facebook atau hanya tatkala berbicara dengan teman-temanmu saja.”
“Aku puas jika terkenal di dunia maya.” Jawabmu.
“Terserah kamu saja.” Aku tersenyum sambil merangkulkan kedua tanganku di lehermu.
“Aku ingin memiliki dirimu seutuhnya.” Bisikmu menghembuskan nafas lembut setelah melepas semua duri terpendam pada raga kelam kita.
Aku tahu, kamu tak disukai oleh teman-temanmu. Bahkan orang-orang yang pernah mendekat pun lari menjauh. Lah, mereka bosan dengan semua pelangi yang kau ukir itu. Kamu hobby berargumen untuk setiap kata yang terlontar. Kamu hobby menjawab setiap kalimat yang sebetulnya tak perlu penjelasan. Kamu hobby menganalisa kebijakan pemerintah di media. Kamu hobby menghina aqidah orang-orang seagamamu yang kamu rasa tidak sejalan dengan pemikiranmu. Kamu hobby membela politikus yang kamu anggap sesuai dengan haluanmu sekali pun itu busuk. Dan sebaliknya kamu akan menghujat politikus yang kamu anggap mengganggu lajunya dukunganmu.
Ingatkah kamu ketika saya bilang “jomblo itu banyak disebabkan oleh kurangnya kualitas diri, sayang”.
Dengan suara yang meluap laksana lahar kamu jawab. “Lah, iyalah. Kualitas diri memegang peranan penting dalam dinamika sosial dan romansa. Orang harus selalu mengupgrade diri mereka, baik secara luaran maupun dalaman, bukannya malah mengandalkan tampang doang, mengandalkan kekayaan orang tua, kalau aku tidaklah demikian”. Tapi saat itu kurasakan jemari kita saling erat meremas.