Jadi apa aku?
Sudah karam mengisi catatan-catatan kelam setiap hari baris demi baris. Keterpurukkan akibat badai gelombang yang beriak usang tak mampu kubendung, hingga menghabisi sisa-sisa tenaga yang kuhimpun detik ke detik. Memasuki dunia kerja dari tukang bersih-bersih lantai, jendela bahkan kamar mandi tidaklah cukup untuk mengais masa depan sekalipun pintu waktu menganga lebar.
Setiap pori hari aku mengubur nama-nama indah dari segala impian di batu-batu nisan kata karena menyesuaikan kondisi diri yang tak pantas meraih. Sungguh, melihat orang-orang berdasi dengan semiran kilap sepatu turun naik mobil mewah adalah wewangian semerbak yang mencium mata pandangku sepanjang waktu. Hingga lahirlah kepak cemburu atas keinginan tak mungkin kugapai.
Siapa aku?
Beraninya bergenggam asa dari jemari lusuh yang tak berkunjung pada mawar-mawar bertumbuh mekar. Jangankan berharap pada bintang, pungguk di tanah pun enggan terbang mendekat. Setiap jengkal harap akan tercekat gulita sekalipun terlihat terik menyengat di hamparan padang luas membentang. Bukankah semua pandangan sudah diselimut atap-atap kokoh dari penguasa palsu yang menggariskan diri sebagai turunan orang-orang hebat? Jelas, tak ada arah buatku.
Lalu bagaimana aku?
Di setiap lolongan waktu kusempatkan menyematkan kata demi kata, lalu kurangkai dengan memilih diksi-diksi berpelipur lara, yang membuat aku pun terhibur manakala menikmati rangkaiannya. Kesibukkanku dari subuh hingga ke malam buta tak membuat waktuku tersita untuk menguntai kalimat-kalimat bersahaja. Malam pun aku bias larut bersama cerita yang mengisi benak dari setiap birasa, rasa rindu, rasa suka, rasa cinta, bahkan dari rasa marah kuramu menjadi sajian bahasa romantis nan indah.
Sekarang bagaimana?
Tanpa kusadari saat mataku mengadu di ketiak telanjang jejaring social, blog demi blog di dunia maya kulalui, tiba-tiba selarik kesempatan mengajakku menatap kompasiana sebagai penjawab semua tanya yang terjejak dari terbitnya matahari hingga tersungkur di peraduan malam. Takdir tak selalu menghadang, ia bahkan meluangkan dirinya untuk memberi kesempatan bagi yang punya keinginan.
Lalu satu demi satu tulisanku tayang di sana, selalu mengikuti aturan dan ketentuan yang berlaku adalah tabiatku. Semua aku lakukan tanpa pernah berharap membawa tulisanku dibaca banyak orang, diheadlinekan atau direkomendasikan bahkan tidak untuk diindahkan, juga tak berharap menghasilkan tulisan yang diperhatikan apalagi mendapatkan uang imbalan.
Apa yang terjadi?