Di bibir pagi ini
Seorang gadis kecil berlari letih dalam gerimis
Ia menenggelamkan rindunya pada tetesan hujan
Agar tak kasat air mata membaur direrintiknya
Tubuhnya menggigil,
Seirama guncangan prahara yang terlahir dari rahim ibunya
Ia tak menyesal
Juga tak mengutuk tuhan
Meskipun tak menggenggam kedamaian di rumahnya
Tiba di sudut pelangi gelap
Gadis kecil berteduh di rindangnya cemara liar
Yang menyenandungan lagu jiwa
Beraroma taman-taman syurga
“Ah,
Andai matahari tak menemui senja
Dan senja tak dijemput malam
Mungkin aku tak perlu berenang di gerimisnya hujan?” Ia bergumam lirih
Setahun yang lalu
Ia menangisi kepergian matahari
Yang tak lagi mencumbui kuncup bunga merayu mekar mengumbar semerbak
Hingga ia kehilangan kayuh pendayung rindu berlabuh
"Aku harus pulang?" Tanyanya pada rintik hujan
Gigil tubuhnya tak segemelutuk guncangan bathin mendera
Sakitnya tak sepedih tikaman amarah yang menerkam hingga merobek relung sukma
Tetiba letihnya merayap di bait-bait puisi lalu
Ia pasrahkan rindunya pada sebatang pohon perdu yang tumbuh di bibir danau berselimut kabut biru
"Jemputlah rinduku!" Pekiknya rapuh dalam keserakkan meremuk asa
Dan seutas belenggu telah membawanya terbang meninggalkan raga terbujur di semaknya dedaunan bersama derasnya terjangan hujan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H