Di penghujung Agustus ini
Rinduku terbang menari-nari dibawa daun-daun kering yang dilepaskan dahannya
Ia mengikuti arah angin menuju sudut-sudut rumput gelap tak terlihat
Â
BaginyaÂ
Kemarau bukanlah musibah
Dibuang bukanlah petaka
Terbakar bukanlah masalah
Ia lebih memilih untuk bertemu takdirnya
Meskipun pedih menusuk seperti yang dituliskan sang pujangga pada dinding-dinding puisi balada
Â
Pada Agustus tahun yang lalu
Rinduku masih memeluk cintanya yang bersimpuh pada kaki langit
Tapi kiniÂ
Embun pagi hanya bersahaja sebelum cahaya datang
Bait rindu hanya bersyair setelah musafir pergi
Â
Dulu
Darahku pernah mengalir di urat nadimu
Nafasku pernah berhembus dalam tiupanmu
Hingga puisiku pun bernyanyi dalam lukisan damaimu
Â
Ah,
Tak perlu aku mengubur rindu
Karena ia suka bermain-main mengunyah rahsa pelipur jiwa
Yang padanya nada-nada cinta riuh bergelora
Memainkan dawai asmara penuh suka cita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H