Episode : Gaple
Aku berniat mendekati sekumpulan orang di meja gaple. Setelah berpuluh tahun tidak pernah menyentuhnya. Ada kerinduan mendengar hempasan batu gaple tatkala memainkannya beramai-ramai, dengan riuhnya komentar beserta tawa lepas adalah kesenangan tak mendua. Ada kebersamaan yang mampu menekan emosi dan melatih kesabaran mendapati kesalahan kawan atau lawan.
Kulihat meja gaple yang dulu masih berdiri kokoh di sebelah pos jaga malam. Lampu yang menerangi juga tidak berubah. Ada lampu neon berkapasitas 25 watt di atas meja gaple, ada yang kecil sekitar 10 watt di dalam pos jaga. Di sana duduk seorang lelaki membelakangi arahku. Ia mempermainkan punggungnya yang gempal. Aku merasa sangat kenal lelaki itu. Tapi dimana? Apakah dia menungguku? Oh, iya. Itu Mas Bejo. Bergegas aku hendak keluar.
“Jangan keluar rumah!” Cegah Ayah.
“Kenapa Yah?” Tanyaku.
“Berita sudah tersebar akan kedatanganmu.” Kata Ayah.
Aku melirik Vera. Tapi ia diam saja. Ia tak terkejut atau pura-pura. Lalu kulihat ia memandangku, lekat. Kemudian menatap jauh, ke arah ayah, ke ibu yang sedang sakit, dan ke pintu rumah seolah menembus ruang dan waktu masa lalu.
“Ada rahasia apa?” Tanyanya menyentakku.
Aku menggeleng. Mataku nanar gelisah. Kuhirup nafas panjang. Tercenung, lalu berbisik lirih.
“Aku residivis.”