Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[100Puisi] Mak Sinah, Pemetik Daun Teh

17 Februari 2016   19:30 Diperbarui: 17 Februari 2016   20:11 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mak Sinah, Pemetik Daun Teh (Dok.Pribadi)

Mak Sinah pemetik daun teh
Senja ini matanya berlinang
Ia hanya sanggup memetik selehai daun teh
Untuk berkirim khabar pada suami di sorga
Angannya menukik menembus ruang dan waktu
Menjelmakan alam tempat  bersemayam

Mestinya, cahaya matahari yang biasa berkeretap penuh harap
Dapat membawanya kembali pada langit merah
Berpijak di terang tanah lembut bercakrawala

Pak.” Desah lirih suara Mak Sinah
Terimalah sehelai daun teh ini
Ia hanya sehelai, tapi begitu indah untukmu
Aku tahu, kamu sangat menyukainya
Helainya selalu menyampaikan sepotong rindu yang entah kapan berlabuh.”

Lalu Mak Sinah tersungkur dalam angan-angan malam berbaur dingin
Ia menggenggam daun teh yang tak sampai pada jasad suami
Dada tipis habis dikikis gelombang kehidupan yang melenyapkan pundi-pundi panorama
Buliran air mata sudah tersapu cairan logam nan pedih
Ia berteriak :

Pak…,
Pergi kemana buih yang terhempas debur ombak?
Pergi kemana helai daun teh hijau – basah – lembab tapi menyejukkan?
Yang sarinya membawa kerumunan orang-orang ke arahku
Yang harumnya menebar di lorong-lorong angkasa.”

Mak Sinah pemetik daun teh
Sudah puluhan tahun mencengkramkan jemari rapuh pada dedaunan
Tubuh gemetar, lemas dan lumpuh dalam kesendirian
Seperti rembulan berputus asa ditinggalkan gemintang
Seperti subuh yang meninggalkan malam demi memburu pagi

Mak Sinah kehilangan tegar di ujung langit semburat ungu
Hidup penuh keikhlasan
Tidak menuntut
Tak ada yang perlu disesali, atau ditangisi
Tapi itu tak cukup untuk menerbitkan terang hadirkan senang

Ketika hari semakin senja
Mak Sinah berjalan perlahan memungut serpihan hati kosong
Ia pamitan pulang bersama malam beringsut menahan lapar
Ia tak berhenti menggenggam seutas tangis
Menunggu isyarat nafas tersengal dijemput suami dari pedih riwayat daun teh

Ah,
Senja di timur matahari telah ditutup oleh gumpalan awan-awan hitam
Selarik kilat menyambar tubuh Mak Sinah
Lalu ia sirna bahagia membawa daun teh untuk suami tercinta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun