Aku berjalan terseok dengan pandangan kosong. Kebencian, hinaan, dan keputusasaan merasuki pikiranku. Aku merasa disepelekan, diabaikan dan tidak berguna. Dan lagi-lagi bulu kudukku berdiri saat kulihat bayangan Dayat muncul di eskalator tepat ketika aku hendak menuruninya.
Aku tersandung, tubuhku linglung dan terjerembab. Dengan sigap Dayat meraih tubuhku. Aku berdiri dengan susah payah, walaupun ia membantu dan memapahku namun aku masih belum melupakan rasa keterpurukkan dari kesia-siaan yang ia ciptakan.
“Lama sekali aku menunggumu”. Aku bersuara serak
“Maafkan aku Isti. Aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku”. Jawabnya
“Kali ini kumaafkan”. Kataku mencoba tersenyum.
===
Aku terengah-engah menyeruak diantara kerumunan orang-orang. Kulihat Dayat sedang mengumbar senyum sambil sesekali melayani cewek-cewek yang ingin selfie dengannya. Bodoh sekali aku, aku tak mengerti artinya kepedihan yang tersirat di wajah Dayat. Aku tak mengerti kenapa air mataku mengalir. Aku tak mengerti kenapa orang-orang memandangnya secara membabi buta. Yang aku mengerti, Dayat harus selalu bersamaku. Ada untukku. Dan hanya berdua denganku.
Kutarik tangannya keluar dari lingkaran orang-orang yang mengelilingi. Aku membawanya ke Mall tempat kami biasa bertemu. Aku merasa nyaman bila bersamanya di Mall ini. Mataku memandang ke sekeliling Mall yang sudah sepi. Kurebahkan kepalaku di pundak Dayat. Sebuah bayangan berkelebat. Sepintas ia mirip Dayat.
Aku berdiri memandanginya. Lalu mengalihkan pada Dayat secara bergantian.
“Kalian sangat mirip”. Suaraku bergetar lirih.
“Kami bersaudara”. Kata bayangan di ujung sana.