Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Erri dan Nenek Gergasi

19 November 2013   11:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:57 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman dahulu kala di sebuah desa hiduplah dua orang bersaudara. Mereka masih kecil-kecil. Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia. Si sulung bernama Erri, umurnya kira-kira sepuluh tahun. Adiknya bernama Connie, sekitar lima tahun. Erri tumbuh menjadi anak yang tangguh. Ia sangat menyayangi adiknya dan menjaganya dengan sepenuh hati. Setiap hari Erri bekerja pada ladang milik tetangga. Tugasnya membersihkan rumput dan membakarnya jika sudah kering.

Tepat di pinggir hutan desa hidup seekor harimau yang sangat buas. Ia suka memakan anak kecil yang nakal dan pemalas. Orang-orang desa biasa menyebutnya dengan sebutan Nenek Gergasi. Entah apa yang membuat mereka menamainya demikian, yang jelas taring-taring Nenek Gergasi sangat tajam dan dapat mencabik-cabik apa saja yang dimakannya.

Suatu hari sepulang dari sawah Erri mendapatkan Connie berlari menyongsongnya. Ia sangat gembira, lalu berkata pada Abangnya :

“Bang, beliin Connie mobil-mobilan” ia berharap sambil memegang tangan Abangnya.

“Abang belum punya uang Con” jawab Erri enteng.

Mendengar keinginannya tak terkabulkan, Connie menangis sejadi-jadinya. Ia membandingkan dengan Fahmi anak Tante Paku yang sangat mudah mendapatkan mainan. Erri sangat sedih, bukannya ia tak mau membelikan adiknya mainan tersebut tapi ia benar-benar tidak menyimpan uang seperak pun.

“Jangan menangis Dik, nanti didengar Nenek Gergasi” bujuk Erri sambil meraih adiknya kepelukan

“Biarin, biar Connie dimakan oleh Nenek Gergasi” elak Connie seraya menepis tangan Abangnya.

Nun jauh di hutan pinggiran desa, Nenek Gergasi mendengar percakapan dua bersaudara tersebut. “Ada makanan empuk nih” pikirnya. Lalu ia bergegas menuju pondokan kedua kakak adik tersebut dan bersembunyi di bawahnya.

Sementara di dalam pondok Erri terus membujuk Connie supaya diam. Tapi adiknya tidak berhenti merengek dan meminta Abangnya berhutang pada Tante Paku untuk membeli mainan di warung. Karena Erri sangat menyayangi adiknya, ia pun turun dari pondok dan menuju rumah Tante Paku. Untungnya Tante Pake sangat baik dan selalu memperhatikan kedua bersaudara tersebut. Ia pun memberikan sejumlah uang sehingga Erri bergegas menuju warung yang letaknya cukup jauh di ujung desa.

Malam sudah semakin gelap, Erri pun segera pulang dengan membawa mobil-mobilan untuk adiknya. Di tengah jalan ia bertemu dengan Nenek Gergasi. Erri berusaha mengelak, tapi Nenek Gergasi selalu berhasil menghalangi jalannya.

“Jangan ganggu Nek, adik saya sendirian di rumah” pinta Erri pada Nenek Gergasi. Tapi Nenek Gergasi tetap menghalanginya sambil bernyanyi :

“Tekabing-kabing di muka lawang........... Tekabing-kabing di sesingkapan............ Apa tecuguk di tengah rumah..............?”

“Sudahlah Nek, saya ingin cepat pulang” kata Erri lagi

“Tekabing-kabing di muka lawang........... Tekabing-kabing di sesingkapan............ Apa tecuguk di tengah rumah..............?” Nenek Gergasi mengulang kembali lagu yang ia nyanyikan

Akhirnya, Erri berhasil keluar dari hadangan Nenek Gergasi. Ia bergegas menaiki tangga pondoknya. Sesampainya di sana, Erri histeris. Ia mendapatkan kaki Connie tergantung di pintu, lalu tangannya berada di jendela, sedangkan kepalanya tergeletak di tengah-tengah pondok.Sayup-sayup ia masih mendengar nyanyian Nenek Gergasi.

“Tekabing-kabing di muka lawang........... Tekabing-kabing di sesingkapan............ Apa tecuguk di tengah rumah..............?” suara itu terus menjauh dan menghilang

Erri sangat sedih, ia terpukul, ia marah pada Nenek Gergasi. Dan ia berusaha untuk membalas kematian adiknya. Didatanginya tempat tinggal Nenek Gergasi. Lalu ia berkata pada Nenek Gergasi :

“Hei Nenek Gergasi, jangan hanya memakan anak kecil, kalau berani makanlah saya sekalian” tantangnya. Nenek Gergasi segera keluar dari persembunyiannya. Ia pun melompat ke arah Erri.

“Apa yang akan kau tunjukkan padaku, sehingga beraninya menantangku?” ejek Nenek Gergasi

“Susul aku di seberang sungai, kalau sudah sampai silahkan makan aku di desa seberang” kata Erri bersemangat

“Ayo, aku terima tantanganmu” jawab Nenek Gergasi. Ia sudah membayangkan akan mendapat makanan yang lebih besar lagi. Lalu Erri berlari menuju jembatan kayu sebatang yang menghubungkan desanya dengan desa seberang. Ia menyeberang dengan lincahnya. Tapi Nenek Gergasi mulai ragu, tubuhnya terlalu besar untuk berjalan di atas kayu sebatang tersebut. Apalagi bentuknya bulat, sehingga ia susah menjaga keseimbangan.

“Gunakan ember Nek” pekik Erri memberi saran pada Nenek Gergasi

“Bagaimana caranya?” tanya Nenek Gergasi kebingungan

“Pakai dua ember di isi air, ember yang satu di tangan kanan, ember satunya lagi di tangan kiri, agar seimbang” Erri memberikan petunjuk

“Baiklah” kata Nenek Gergasi

Maka ia pun bergegas mengambil ember dan mengisinya dengan air. Lalu ia berjalan dengan yakinnya bahwa ia bisa menyeberang sungai.

“Berlenggang-lenggok Nek” pekik Erri

“Iya, ini sudah berlenggang” jawab Nenek Gergasi

“Lebih cepatagar kayunya tidakoleng” Erri menyemangati

“Iya, ini sudah cepat” kata Nenek Gergasi penuh cemas

Tiba-tiba ia hilang keseimbangan. Air yang berada pada ember sebelah kanan tumpah, sehingga bebannya lebih berat ke sebelah kiri. Akhirnya Nenek Gergasi limbung dan jatuh ke dalam sungai yang airnya mengalir dengan deras karena dipenuhi oleh batu-batu besar. Matilah Nenek Gergasi seketika. Dan tamatlah satu riwayat.

Catatan :

Tekabing-kabing = bergelantungan

Lawang = pintu

Sesingkapan = tirai jendela, pintu

Tecuguk = teronggok, tergeletak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun