Hiruk pikuk di sekelilingku sangat memekakkan telinga. Berbagai perkataan dan umpatan silih berganti. Bahkan teriakan-teriakan sadis seolah mengarah padaku. Apa mereka tidak tahu kalau bathinku tersiksa. Mereka sangat keterlaluan, tak menghiraukan perasaanku. Aku menggeram sepertisinga kelaparan. Tanganku menggenggam siap mencakar dan menerkam siapapun yang akan menyentuhku.
”Ranti, ngapain kamu di sini?” tanya seseorang mengusik emosiku, aku tersentak. Suara itu sangat kukenal.
”Ada apa mereka ramai-ramai di situ?” Tanyaku heran sambil menoleh pada Linda sahabat satu asrama di rumah sakit tempat kami bekerja.
”Mereka menemukan jasad bayi” jawab Linda sambil menarikku menghindari kerumunan orang-orang
”Dimana?” aku semakin penasaran
”Di luar pekarangan kita, bayinya dikubur di sisi tembok pagar, tapi tanahnya terkikis hujan, hingga kepala bayinya menyembul” Linda memberikan penjelasan yang membuat aku tersentak kaget.
###
Sebagai wanita dewasa aku sangat ingin mempunyai seorang pendamping hidup yang disebut dengan suami. Memiliki anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Menggendong mereka, bercengkerama, menyiapkan sarapan pagi dan seluruh aktivitas keibuan lainnya. Sungguh, hal-hal itu selalu bermain di kepalaku. Apalagiusiaku sudah berkepala tiga. Sudah selayaknya membina keluarga. Sebenarnya telah berulang kali aku merasakan debaran cinta, namun tak pernah kesampaian.Padahal aku bukanlah wanita yang tidak cantik, juga bukan wanita yang berperangai jelek. Tapi perasaan itu harus aku kikis setipis-tipisnya, bahkan harus dikubur sedalam-dalamnya. Jangan sampai ia bersemayam dan membelokkan haluanku sebagai seorang pengabdi pada tuhan.
###
Suatu ketika aku bertemu Ben. Pemuda lajang berprofesi dokter. Saat memperkenalkan diri di do’a pagi ia selalu mencuri pandang ke arahku. Aku tak tahu apa yang diperhatikannya. Tapi aku yakin sumringah senyumku sepanjang ia berbicara mempengaruhinya.
Ben meluluhkan hatiku. Hidung mancung dengan wajah innocence itu kian bermain di pikiranku. Gairahku seakan menggelora setiap kali membayangkan dirinya. Tubuh sempurna dihiasi bulu halus di sekujur lengannya meningkatkan andrenalinku. Lalu aku tembak dia. Tapi apa lacur, nasibku memang tak mujur. Dengan halus ia menolakku bahwa suster Widya telah mengisi hatinya. Mukaku merah. Mau diletakkan dimana lagi? Jika bisa dilepas, maka akan kutinggalkan wajah ini di kamar setiap kali bepergian. Tapi itu hal yang mustahil. Aku tetap menginginkan Ben, walau hanya satu menit saja.
###
Kemesrahan Ben dan Widya semakin kentara. Mereka seperti sengaja memperolokku. Aku sangat benci melihatnya. Ingin kutikamkan belati ke dada mereka. Tapi tentu tak mungkin. Aku tak bisa menghadapi mereka dengan biasa, padahal mereka selalu menyapa seperti tak terjadi apa-apa.Bahkan berbicara dengan ramahnya. Hatiku hancur. Aku ingin mati saja. Atau mungkin pergi ke tempat yang jauh. Tapi mereka adalah temanku, apalagi Widya, ia sudah seperti saudara sendiri selama ini.
”Tolong aku Ranti” tiba-tiba Widya berhamburan mendobrak pintu kamarku
”Ada apa Widya?” tanyaku heran
”Aku.....aku.....aku hamil Ran” dia terisak sambil menjatuhkan kepalanya ke pangkuanku yang masih duduk di tempat tidur. Aku tak bisa berkata. Hanya kubelai rambutnya dan mengusap bahunya yang terguncang. Tiba-tiba mataku nanar. Aku benci dengan wanita ini. Ia telah merampas harapanku. Ia telah memotong hatiku bahkan meremukredamkan jantungku. Kini ia datang meminta bantuanku. Duhai, apa yang harus aku lakukan?
###
Linda merebahkan aku di pembaringan. Dibasahinya handuk kecil dengan air hangat-hangat kuku. Aku merasakan usapan-usapan lembut di wajah dan dahiku. Lalu jari-jari mungilnya memijatlingkaran kepalaku.
”Tinggalkan aku sendirian Lin” aku memohon padanya
”Apa kondisimu sudah baikkan Ranti?” tanya Linda meminta keyakinanku
”Iya, terima kasih telah merawatku” kataku dengan suara tercekat. Untungnya Linda tidak banyak bertanya. Juga tidak pernah membuka selimut yang menutupi bagian bawah tubuhku.
”Baiklah, kamu istirahat saja dulu” ucapnya sambil membenahi selimut menutup dadaku. Lalu ia beranjak meninggalkan kekosongan bathinku.
Aku mencoba bangkit dari tempat tidur. Terasa kepalaku pusing dan penglihatan berkunang. Dadaku perih. Bathinku bergolak. Semua berkecamuk menjadi satu. Kubuka laci toletku. Kudapatkan gulungan kawat halus yang penuh bercak darah. Lalu kubuang ke dalam toilet. Blurrrr – kawat itu tenggelam bersama semburan air dari penampungan toilet. Aku tersenyum. Hilang sudah bukti benda yang menghabisi Widya. Jasad Widya sudah aku buang di sumur tua belakang asrama. Kalau pun ditemukan pasti sudah membusuk dan sulit dikenali penyebab kematiannya. Aku pun tertawa penuh kemenangan.Ha ha ha..........
###
”Mereka mengotopsi bayinya” Linda memberiku khabar
”Apa hasilnya?”
”Belum tahu, tapi polisi mengarahkan penyelidikan pada penghuni asrama terlebih dahulu” jawab Linda. Aku bergidik. Aku semakin ketakutan. Bayi itu adalah bayiku. Aku membuangnya setelah Ben tidak mengakuinya. Ia merayuku di malam laknat itu. Katanya just for fun. Untuk happy-happy-an saja. Karena menginginkannya, aku pasrah dalam lenguhan dikebisuan malam kelam. Dengan peluh bersimbah Ben pun berhasil merengut kegadisanku. Geliat malam itu membuatku terbang dibuai hasrat syahdu. Aku menganggapnya dosa terindah. Tapi tidak dengan Ben, ia memperlakukanku tak lebih dari seorang perempuan murahan. Setelah selesai ia langsung meninggalkanku sambil berkata, "nanti kita ulang lagi ya".
Oughh.....sungguh bodohnya diriku. Sementara perutku mulai membuncit Ben semakin dekat dengan Widya. Mau tak mau aku harus membuang bayi ini. Tapi ia tetap saja berkembang dan tak ingin lepas dari rahimku. Sampai usianya memasuki bulan ketujuh barulah ia keluar secara prematur. Mungkin karena aku kelelahan pisik setelah menghabisi Widya. Olala - mudah saja bagiku menghilangkan nyawa bayi tak berdaya itu. Lalu terkuburlah ia bersama harapanku yang sudah sirna. Hilangnya Widya menjadi tumbal siapa pemilik bayi tersebut. Tuduhan orang-orang selalu dilontarkan padanya. Aku tersenyum puas. Sambil mengacak-acak rambut kusutku kuikuti Linda ditemani beberapa orang berpakaian putih-putih menggiringku memasuki sebuah mobil van. Lalu mobil itu melaju menuju ke sebuah rumah sakit. Rumah Sakit Jiwa namanya. Tampak dikejauhan Ben tersenyum padaku, Oh Ben, "nanti kita ulangi lagi ya" bisik bathinku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H