Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ilalang

26 Februari 2014   16:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku memandang keluar jendela. Di ujung sana di sebuah padang rumput, berdiri tegak menjulang sekumpulan ilalang. Indah sekali dengan bunga berwana putih. Melambai-lambai ditiup angin. Menyejukkan sekujur tubuhku, tapi tidak dengan jiwaku. Setiap hari aku termangu. Menyusuri kenangan-kenangan beku, seperti tumbuhan karang yang membatu.

Wajah itu tersenyum ke arahku. Ia berdiri di tengah kumpulan rumput ilalang. Tangannya menaridi atasnya, menyentuh bunganya silih berganti. Bunga ilalang melambangkan kesombongan manusia, sesombong hatiku yang selalu berbalut keindahan. Persis bunga ilalang, indah tapi sombong.

==##==

”Ranti berangkat, Yah” suara halus dari bibir mungil anakku Ranti berdesir di telingaku

”Siapa yang ngantar?” tanyaku sambil mengulur tangan untuk mendapatkan ciumannya

”Abang, Yah” jawabnya dengan mengeluarkan senyum termanis, senyum khas remaja yang sedang mekar-mekarnya penuh kemanjaan

”Hati-hati yaaa....” aku mengingatkan mereka berdua tatkala Ronal, Abangnya pun pamit sembari mencium tanganku

Melihat mereka berdua begitu akur dan kompaknya, hatiku berbunga-bunga penuh kebanggaan. Tiada kebahagiaan yang bisa menandingi kebahagiaan seorang ayah tatkala melihat anak-anaknya saling mengasihi dan menyayangi satu lain. Yang laki-laki menjaga yang wanita dengan penuh rasa tanggung jawab, yang wanita mampu menghibur hati yang laki-laki dengan tetap memberi hormat. Sungguh. Melihat itu aku membayangkan suatu masa depan yang tetap gemilang seperti yang sudah-sudah. Masa depan yang selalu ada digenggaman mereka, yang tak terusik oleh lekangnya zaman, yang tak robek oleh berlarinya waktu.

Aku, dan isteriku telah menginspirasi mereka merasakan lezatnya buah dari hubungan yang harmonis dengan saudara-saudara, baik yang sekandung maupun saudara jauh. Bagaimana kebahagiaan yang diraih dari sebab hormat, patuh dan memelihara orang tua ketika tiba masa uzurnya. Disetiap memberi nasehat, aku pun selalu mengatakan, tidak ada gunanya memiliki harta melimpah kalau saudara-saudara kita, keluarga kita tidak ikut menikmatinya. Aku selalu berpesan, orang tua adalah ladang amal ibadah bagi anak-anaknya, oleh sebab itu jagalah dia, kasihilah dia, dan bahagiakanlah dia selagi mereka masih ada.Harta yang tak ternilai itu adalah keluarga, orang tua, saudara dan orang-orang yang menjalin tali silaturahmi dengan kita.

”Ayah, Ranti ingin diphoto di padang ilalang itu, Yah” pinta Ranti suatu ketika saat melihat indahnya bunga-bunga ilang di hamparan tanah kosong tak bertuan dekat rumah kami.

”Siap Tuan Puteri” kataku gembira sambil membawanya menuju ke sana.

Ranti sering memetik bunga ilalang untuk dijadikan kembang penghias meja belajarnya. Kadang-kadang ia meletakkannya di ruang tamu. Ia sangat bangga menunjukkan karyanya merangkai bunga tersebut sehingga sedap dipandang mata.

”Kamu boleh menyukainya anakku, tapi jangan mengikuti tabiatnya” nasehatku ketika bersantai sambil menikmati hamparan bunga ilalang dari teras rumah.

”Pasti, Ayah. Ranti kan belajar ilmu padi” jawab Ranti penuh semangat.

==##==

Tiba-tiba kebahagiaan itu terusik. Keindahan yang dibayangkan itu diganggu oleh intrik-intrik kecil yang akhirnya membesar. Hal ini tidak akan terjadi, seandainya waktu itu aku memberikan kepercayaan penuh kepada Ranti dalam segala aktivitasnya. Sebagai siswa SMA ia ingin menunjukkan aktualisasi dirinya dengan mengikuti beragam kegiatan. Ia mengatakan bahwa sekolahnya mengutus lima orang siswa untuk mengikuti perlombaan modern dance. Salah satu anggota adalah dirinya. Maka, kelima siswa tersebut setiap hari harus berlatih di sebuah sanggar yang ditunjuk oleh sekolah. Konsekuensinya adalah, mereka selalu pulang malam. Bahkan hari libur pun mereka tetap latihan sampai gelap menjelang. Mendapati kondisi ini aku mulai gundah. Kekhawatiranku sebagai orang tua sangat beralasan, karena berhari-hari latihan ngedance di sebuah sanggar yang menurut ceritanya dihuni oleh para manusia setengah wanita setengah lelaki. Kepikiran olehku bagaimana dengan shalatnya? Bagaimana pergaulannya? Apakah nanti akan terpengaruh mengikuti arus ataukah dia dapat bertahan pada jalur yang telah diajarkan? Segala angan-angan jahat berkecamuk di dada, apalagi tatkala mendengar saat lomba ia harus melepaskan jilbab. Akhirnya aku memutuskan untuk mengultimatumnya.

”Kamu mundur saja Ranti dari kegiatan itu!” pintaku langsung memaksa

”Tidak bisa, Yah. Perlombaannya tinggal dua hari lagi” jawabnya dengan mimik wajah memelas

”Ayah tidak mau kamu menggadaikan aqidah hanya untuk sebuah kemenangan dunia” kataku lagi

”Tapi ini sudah tanggung, Yah” jawabnya dengan wajah yang membuatku tak sanggup menatapnya

”Ayah tak mau tahu, pokoknya Ayah tidak setuju kamu mengikuti kegiatan itu lagi!” bentakku sambil meninggalkan dirinya termenung

Tapi rupanya tekad Ranti untuk mengikuti perlombaan itu sangat bulat. Ia tak bergeming dengan ancamanku. Selama dua hari itu ia terus pergi berlatih seperti biasanya, pulang malam. Aku tak memperdulikannya lagi. Setiap kali ia menyapa aku hanya menatapnya geram. Ketika ia pamit dengan mencium tanganku, aku pun hanya berdehem tanpa mengeluarkan kata sepatah pun. Ranti kelihatan takut, dan ketika di rumah ia hanya berdiam diri di kamar, tidak ikut makan bersama apalagi bersenda gurau seperti biasanya.

”Hari ini Ranti lomba, Yah” dia pamit tetap dengan kebiasaannya salam dan mencium tanganku. Aku hanya diam memasang wajah sebengis-bengisnya.

”Tolong antar Ranti, Yah” katanya dengan suara ketakutan. Aku tetap dalam diam tanpa memberi jawaban.

”Ayah, Abang nggak ada di rumah. Ranti pergi dengan siapa Yah?” suaranya tercekat ingin menangis. Tampak sekali kalau ia galau. Namun masih masih tak menyahut, lalu mencari aktivitas lain yaitu menyiram tanaman. Aku dengar ia terisak. Tak lama kemudian, perlahan pintu pagar berderit, ia keluar sendiri. Lalu rumah menjadi sunyi. Kulihat isteriku ikut terdiam. Ia hanya menatap sedih melihat kepergian puteri kami. Tiba-tiba isteriku menghidupkan mesin mobil ingin menyusul Ranti. Tapi aku melarangnya, bahkan kubentak dia dengan suara yang menggelegar.

”Biarkan dia jalan kaki!Anak keras kepala! Tidak bisa dilarang!” hardikku bertubi-tubi. Isteriku menyeka matanya, tampak butiran-butiran air mengalir di situ. Lalu ia berlari masuk ke rumah. Aku membiarkannya sambil tetap berdiri angkuh, penuh kesombongan. Lebih sombong dari bunga ilalang yang tak pernah merunduk itu.

==##==

”Ibu, kelompok Ranti dapat Juara Satu, Bu” teriak Ranti dari halaman rumah. Aku mengintip lewat jendela kamar. Rupanya ia diantar temannya.

”Selamat ya Ranti” jawab Ibunya menyambut kebahagiaan anak gadis kami itu.

”Dapat hadiah tiga jeti, Bu” katanya mengabarkan hadiah yang didapat

”Wawww....hebat” ibunya tertawa senang

”Dibagi berlima, Bu” Ranti menjelaskan perihal uang hadiahnya

”Traktir makan dong” tiba-tiba Ronal nyeletuk

”Siap” jawab Ranti semangat

”Ayah mana Bu?” tanyanya ketika menyadari ketidakhadiranku di tengah-tengah kebahagiaannya

”Di kamar, ayahmu mau berangkat ke Jakarta sekarang” jawab isteriku sambil memberi khabar akan keberangkatanku yang mendapat tugas mendadak dari kantor. Aku segera keluar kamar dengan menenteng koper. Ronal, Abangnya Ranti sudah menyiapkan mobil untuk mengantarku ke bandara.

”Kita ikut mengantar Ayah ya Ranti” ajak isteriku

”Oke, Bu” jawab Ranti langsung menuju ke mobil

Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Tak sepatah kata pun aku ungkapan untuk Ranti, walaupun hanya sekedar ucapan selamat atas kemenangannya. Padahal ia begitu antusias bercerita dengan Ibunya dan diselingi oleh kejenakaan Ronal. Isteriku mencoba mencairkan kebekuan dengan sesekali mengajakku berbicara lain hal, tapi usahanya juga tidak berhasil. Aku tetap dengan diamku. Aku merasa aku harus memberi pelajaran pada Ranti, dengan sikap yang akan menyakitkan hatinya. Biarlah ini menjadi sock terapi baginya, agar kelak dikemudian hari ia tidak akan berani membantah lagi. Ketika sampai di bandara, Ronal mencium tanganku, juga isteriku, lalu ketika sampai giliran Ranti, aku kibaskan tangannya, ia terpaku. Kurasakan pedihnya. Raut mukanya pucat. Ia menjauh, tapi Ibunya segera meraih tangannya, tapi Ranti tidak merespon, ia hanya terdiam dan menunduk sambil melangkah gontai. Sebenarnya aku sudah berat meninggalkannya dalam keadaan begini, ingin kembali, memeluknya dan meminta maaf, tapi egoku terlalu tinggi. Aku bertahan dan bertahan dengan langkah ke”aku”an. Seharusnya aku malu. Malu telah menghujat rumput ilalang dengan keangkuhannya, malu selalu menasehati anakku untuk tidak meniru ilmu ilalang. Malu kalau kalau saja rumput ilalang itu berbalik menghujatku, karena mereka masih memiliki keindahan dengan bunga putihnya yang menyejukkan mata. Duh.

==##==

Selama dalam penerbangan aku terus membayangkan Ranti. Bagaimana keadaannya saat ini? Wajahnya yang manis dan perilakunya yang menyenangkan selalu bermain-main di pelupuk mataku. Harusnya aku bangga memiliki anak gadis seperti dia. Harusnya aku bangga dengan semangat dan kemauannya untuk berprestasi di sekolah. Harusnya aku tidak mengecewakannya dengan perlakuan yang menyakiti hatinya. Duh – akulah Ayah yang egois, yang memaksakan kehendak. Aku lupa bahwa mereka bukan milikku seperti yang dituangkan oleh Khalil Gibran tentang anak.

Anakmu bukan milikmu.

Mereka putera puteri kehidupan yang rindu akan dirinya.

Lewat engkau mereka lahir, namun bukan dari engkau.

Berikan kasih sayangmu, namun jangan paksakan kehendakmu.

Sebab mereka memiliki masa depan yang tidak dapat engkau kunjungi, juga tidak dalam mimpi”.

Tak sadar air mataku mengalir. Ah, apakah aku cengeng? Aku pasti berkata ”Tidak!”

Sesampai di Cengkareng, sambil menunggu bagasi aku menghidupkan handphoneku. Ting, nada BBM berbunyi. Aku segera membukanya. Ternyata pengirimnya Ranti.

”Ayah, maafkan Ranti. Ranti sayang sama Ayah. Ranti ingin Ayah merestui kegiatan dance ini. Ranti tidak hebat diintelektualitas, tapi Ranti pingin membuat prestasi untuk diri Ranti dan juga sekolah. Ranti iri lihat kawan-kawan Ranti yang ikut lomba selalu bawa piala. Ranti sudah lama meninggalkan kegiatan-kegiatan lain yang dilarang Ayah. Ranti sudah tidak ikut Paskibraka lagi, karena Ayah takut Ranti menjadi hitam. Ranti sudah tidak ikut latihan karate lagi, karena Ayah tidak ingin Ranti berubah jadi kelelakian. Ranti sudah mengundurkan diri dari Bendahara OSIS, karena Ayah takut Ranti terlibat korupsi. Tapi Ranti harap izinkanlah Ranti ikut dance ini Yah. Kelas dua ini kesempatan terakhir Ranti ikut lomba di sekolah, karena kelas tiga nanti sudah tidak boleh ikut lomba apapun lagi.Ranti janji tidak akan terpengaruh dengan pergaulan bebas, Ranti masih megang teguh dengan Allah, Yah. Pakaian yang dikenakan waktu lomba pun tidak vulgar, karena kami masih membawa nama sekolah Islam, Yah. Tolonglah Yah, maafkanlah Ranti telah ikut kegiatan ini. Kemenangan Ranti tadi tidak ada artinya sama sekali tanpa kebahagian dari Ayah. Ranti sayang sama Ayah, tapi jika Ayah membenci Ranti karena ini, maka relakan Ranti pergi meninggalkan rumah, Ranti sayang sama Ayah, sama Ibu, sama Abang. Tapi semua jadi menyakitkan manakala Ayah tidak memperdulikan kehadiran Ranti, betapa susah mendapatkan maaf dari Ayah.........maafkan Ranti, Yah, Ranti akan pergi jauh.......”

Tak tahan aku menahan linangan air mata. Dadaku berguncang hebat. Jantungku berdegup kencang, sejuta rasa berkecamuk. Segera kutelpon isteriku menanyakan Ranti di mana. Isteriku pun tersentak, lalu menggedor pintu kamarnya. Kudengar sayup-sayup tangis isteriku memilukan hatiku. Ia meraung sambil menjerit, ”kenapa kau lakukan ini, nak..............? Ibu sayang sama Ranti, walau Ayahmu marah, tapi ada Ibu yang menyangimu...... Ranti.......bangun nak.........bangun........” aku pun terkulai tak sadarkan diri lagi.

==##==

”Minum obatnya, Yah” suara isteriku menyentakkan lamunanku. Aku tak menggubrisnya. Aku masih menikmati bayang-bayang Ranti di tengah padang ilalang itu. Ia sedang memberikan senyum termanisnya padaku sambil menunjukkan bunga ilalang yang ia petik.

”Ranti kenapa belum pulang juga, nak?” gumamku tercekat. Kurasakan mendung di kelopak mataku tak tertahankan lagi. Airnya mengalir deras, sederas tekanan bathin yang menyesakkan dadaku. Hancur sudah semua angan-anganku. Hancur sudah masa depan indah.

”Ayah ingin istirahat, Bu” kataku sambil berjalan tertatih menuju pembaringan. ”Istirahat yang panjang, sampai tidak ada lagi orang-orang yang bisa membangunkanku. Ayah ingin berada di sisi Ranti, selamanya.............selamanya.......” kataku bergetar.

”Ayah tidak boleh begitu, harus ikhlas Yah” bisik isteriku. Ia tampak tegar. Sedikit pun tak terlihat titik air matanya. Ia terus memberikan semangat, dan senyuman indah, seindah bunga ilalang yang memancarkan cahaya putihnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun