Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Durhaka

24 Februari 2014   22:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:30 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

”Ranti pergi dulu Bu” kataku sambil berlalu tanpa menoleh ke ibuku yang sedang menggosok pakaian.

”Mau kemana kamu Ranti?” tanya ibu bergegas menghampiriku dan membenahi kerah jaketku yang kusut.

Ibu Kepo!” jawabku meninggikan suara sampai lima oktaf

”Kamu koq tiap hari pergi terus, mana pulang malam lagi. Kasihankan bapakmu?” kata ibu dengan suara lemah, selemah bisikkan nyiur diterpa sang bayu.

”Tak peduli” jawabku seenaknya membuyarkan kesunyian pagi. Aku mencari kunci mobil kesayanganku. Mau ada bapak kek, mau nggak ada kek, yang penting aku harus bisa berkumpul dengan teman-temanku. Bapak seminggu sekali pulang ke rumah, karena bekerja di luar kota. Inginnya sih, saat Bapak di rumah, anak-anaknya bisa berkumpul, makan bersama, pergi bersama ataupun melakukan aktivitas lainnya secara bersama. Tapi aku punya dunia sendiri, yang tak perlu dikunjungi mereka, juga tidak dalam mimpi sekalipun. Aku punya banyak teman yang menginginkan kehadiranku. Bagiku berkumpul dengan teman-teman sudah menjadi kebutuhan.

”Kunci mobil dimana, Bu?” jeritku

”Ibu nggak lihat nak” jawabnya masih memandangiku

”Ibu sembunyikan ya?” aku membentaknya

Ibu terdiam, lalu ia bergegas ke dapur, entah apa yang ia lakukan di sana. Aku tak peduli. Aku sangat marah. Kutinggalkan rumah dengan berjalan kaki. Terik matahari membakar kulitku. Dadaku bergolak. Amarahku memuncak, hampir memuncratkan semburan darah Galunggung. Aku memanggil tukang ojek untuk mengantarku berkumpul dengan teman-teman di mall tempat yang kami janjikan.

##==##

Aku gadis beranjak remaja. Sejak kecil hidup bersama orang tua. Dalam setiap nafas hidupku, aku selalu membutuhkan kehadiran mereka. Tapi kini, diusia lima belas tahun ini, aku seperti asing dengan diriku sendiri. Aku ingin menunjukkan bahwa diriku sudah besar. Sudah dewasa, dapat berbuat sesuka hatiku. Tidak perlu lagi campur tangan mereka. Lalu aku ikuti seabrek ekstrakurikuler di sekolahan, mulai dari OSIS,Paskibraka, teater, even-even baik yang diselenggarakan di sekolahku maupun di sekolah lain. Belum lagi beraneka les tambahan yang sangat kubutuhkan. Kegiatan ini membuatku selalu pulang malam. Sehingga sedikit sekali waktuku bertemu keluarga. Aku merasa sudah menjadi orang hebat dengan segala pujian yang didapat dari sekolah. Aku merasa sudah jauhlebih pintar daripada orang tuaku yang hanya tamatan SMA. Makanya aku ingin di hari libur dapat melepaskan kejenuhan dengan teman-temanku untuk mejeng di mall ataupun tempat-tempat hiburan lainnya. Tapi aku memiliki mawar penghias pagar. Yang kelihatan cantik tapi selalu menusuk tubuhku disaat aku melompati pagar. Dialah ibuku, aku benci dengan semua itu.

==##==

Sudah tiga hari ini aku tidak mau menyapa ibuku. Sarapan yang ia siapkan tak kusentuh. Pergi sekolah tak pamitan. Pulang ke rumah tak mengucap salam. Kalau sudah di rumah aku hanya mengurung diri di kamar tidur. Ibuku pun seolah lupa dengan aku. Ia tak pernah melongok ke kamarku seperti biasanya. Tak memberiku uang jajan. Padahal aku berharap sekali ia meletakkan jatahku di meja belajar setiap pagi seperti biasanya. Namun harapanku sia-sia, ibu pun tak pernah kujumpa setiap aku berangkat sekolah. Untung sisa tabunganku masih ada. Akhirnya tabunganku ludes, lalu ku calling bapak minta dikirimi uang jajan ke rekeningku. Tapi apa hendak dikata, bapakku tak memenuhi keinginanku. Ia menjawab bahwa uang jajan sudah diserahkan ke ibu. Aku tak tahu kenapa bapak bersikap seperti itu, biasanya ia cepat memberiku jika aku membutuhkan uang.

==##==

Aku benci dengan mereka. Aku muak dengan kehidupan seperti ini. Ingin kubunuh semua manusia yang ada di muka bumi, biar hidup sendiri menikmati apa yang aku mau. Ku berlari ke rumah temanku Mila. Aku ingin menceritakan seluruh kegelisahanku. Kekesalanku pada ibuku. Pada bapakku. Tapi Mila tak meresponku. Ia bahkan tak mempersilahkan aku tidur di rumahnya saat malam sudah tiba. Bahkan ketika aku pamitan pulang ia hanya diam, tidak tersenyum atau menahanku. Padahal aku hanya ingin melihat reaksinya saja. Mauku ia memohon agar aku tidur di rumahnya, tapi yang terjadi adalah aku didorongnya untuk segera keluar dan bergegas ia menutup pintu tanpa basa basi lagi. Aku dendam dengan Mila. Dadaku bergolak ingin melabraknya. Mila seperti lupa bahwa ia pernah meminta bantuanku. Kala itu ia tidak punya uang untuk melunasi SPP yang sudah habis batas waktu pembayaran, orang tuanya belum transfer. Awas kau Mila. Tunggu pembalasanku. Aku sangat marah.

==##==

Keesokannya pagi-pagi sekali aku berangkat ke sekolah, aku pun tetap tidak pamit pada ibuku. Aku semakin angkuh menunjukkan bahwa aku tak perlu ibu. Dan hari ini aku pun berencana ingin mempermalukan Mila. Aku ingin menunjukkan pada teman-teman bahwa Mila adalah musang berbulu domba. Hanya mau berteman saat ia butuh saja. tidak tahu berterima kasih. Dan semua yang jelek-jelek akan aku ceritakan pada teman sekolah. Sepanjang perjalananku pikiranku di huni oleh rasa geram dan buas ingin mempercundanginya. Aku ingin memberi pelajaran pada Mila. Aku akan meletakkan balsem yang paling panas di kursinya.

Sesampai di sekolah, kelasku sepi. Teman-teman belum kelihatan. Aku bergegas menuju tempat dudukku guna meletakkan tas sebelum mengoles balsem di kursi Mila. Tapi aku terperangah melihat sepucuk surat beramplop putih di mejaku. Tertulis untuk Ranti sahabatku. Aku pun penasaran dengan surat itu. Lalu kubuka dan kubaca.

Ranti sahabatku.

Maafkan sikap ku semalam.

Aku sayang Ranti, sahabat paling berharga yang pernah kumiliki

yang paling baik dan paling aku banggakan.

Ranti, Aku ingin Ranti melihat, meraba dan membuka mata.

Bukankah Ranti murid yang paling cerdas di sekolahan kita?

Bagaimana rasanya orang yang disayangi mengacuhkan kita. Bersikap masa bodoh.

Aku hanyalah seorang teman, yang tidak pernah dikandung oleh Ranti, tidak pernah diasuh Ranti dari bayi, tidak pernah meminta apa-apa kepada Ranti selain berhutang dan itupun harus dibayar.

Tapi begitu Aku tidak memperdulikan Ranti, Aku melihat kebencian di matamu. bagaimana rasanya? Aku yakin Ranti pasti kecewa, pasti sedih, pasti marah, pasti dendam ingin membalas perbuatanku. Padahal Aku bukan apa-apa, dibanding seorang Ibuyang telah mengandung, merawat, membesarkan anaknya.

Ranti sahabatku, coba bayangkan ketika bangun tidur ibu kita telah pergi tuk selamanya? Tanpa kita pernah sempat meminta maaf, menyapanya dan meraih tangan lembutnya untuk memberikan semangat hidup kita? Tidakkah terpikir olehmu saat perang dingin dengan Ibumu seperti ini, tiba-tiba ia tiada, tanpa sempat meminta maaf? Bagaimana rasanya? Pasti sedih kan? Pasti menyesalkan? Namun menyesal kemudian tak ada gunanya lagi. Tak ada lagi yang menyiapkan sarapan pagi, tak ada lagi yang membangunkan pagi-pagi dan mengingatkan kita untuk shalat shubuh.

Ranti sahabatku, dalam agama sendiri, dilarang untuk mengatakan ?Ah!? pada Ibu kita. Apalagi melawannya, mendiamkannya, tidak menyapanya sampai berhari-hari. Yakinlah, seorang ibu tidak akan menuntut untuk menjadi orang kaya. Ia hanya ingin Anaknya menyayanginya, bahkan ketika dia sudah renta dan tak berdaya

Mohon maaf Ranti, aku tidak ingin mengguruimu, tapi aku sangat sayang

padamu......

Sahabatmu, Mila

Membaca surat itu tak sadar buliran air mataku mengalir deras. Aku ingin menjerit, meraung sejadi-jadinya. Dadaku berguncang hebat, isak yang tertahan tak mampu kubendung. Tanpa peduli jam sekolah aku berlari mengejar bayangan ibu........... maafkan aku ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun