Negeri ini namanya Indonesia. Kita sangat mencintainya bahkan begitu banyak hal indah yang telah kita nikmati. Koes Ploes menyebutnya “Tanah Surga.” Tanah Indonesia ini adalah tanah dimana kita lahir dan disini pula kita akan dikebumikan. Negeri ini “ngangenin” bagi kita semua. Bahkan, ada teman penulis sepulangnya dari tanah suci selepas menjalankan ibadah haji begitu kangen ingin segera berada di Indonesia.
Ia lebih suka tinggal di Indonesia daripada di tanah suci. Mungkin karena “Tanah Surga” lebih indah dari tanah suci. Sebuah ungkapan subjektif yang merepresentasikan betapa tanah air Indonesia ini menjadi bagian indah dari kehidupan warganya. Hamparan sawah, pegunungan yang menghijau dan sungai-sungai yang mengalir sulit ditemukan di tanah suci. Ini fakta objektif memang tanah air kita adalah surga metaforis.
Namun sayang, dibalik tanah kelahiran “rasa surga” ini masih terdapat beragam dinamika menyedihkan yang kerap terjadi di negeri ini. Puluhan pemimpin mulai dari Presiden sampai pejabat RT tak lepas dari sisi buruk nuansa berebut ghonimah. Bagaimana uang negara dihamburkan hanya karena kepentingan pribadi dan kelompok. Sebagian besar para pemimpin nampaknya seperti tidak mengenal “puasa”.
Rakyat “berpusa” para pemimpinnya mayoritas tak “berpuasa”. Hanya beberapa tercatat di negeri ini sosok yang “berpuasa” saat menjabat sebagai pemimpin. Sosok Hoegeng, Hatta, Natsir, Agus Salim, Soedirman adalah sosok-sosok teladan yang sulit hari ini ditemukan. Negeri ini sedang kesulitan mencari sosok pemimpin yang baik. Rakyatnyapun masih banyak yang “sumbu pendek”.
Mudah “meledak” bahkan tak sedikit yang meledakan dirinya dengan bom seperti tragedi Kampung Melayu. Sebagian besar masih agresif dalam menebarkan gosip, konsumtif terhadap hoax dan mudah menghujat pemimpin. Budaya benci masih menguat karena dangkalnya budaya literasi. Memprovokasi, berkerumun, berdemo masih menjadi keseharian pemandangan kita.
Di negeri ini rakyatnya sedang “demam” mengigau dan menggaduh tak henti-henti. Pemimpin sederhana sekaliber Jokowi saja habis dihujat. Pemimpin kaya raya dan entah darimana hartanya di idolakan. Segala hal cukup sensitif di negeri ini. Kasihan negeri ini sedang dalam perjalanan panjang menuju perubahan yang lebih baik, kita berharap.
Bangsa Indonesia seperti bangsa “nomadik” yang lebih suka menghardik, belum bermental menetap dan saling membantu untuk maju. Masih berkepribadian kolektif berpindah-pindah. Berpindah partai politik, berpindah dukungan, ingin berpindah ideologi bahkan berpindah negara menghindari sanksi hukum. Lebih lucu lagi berpindah kesehatan, yang tadinya sehat-sehat saja karena ada sanksi hukum yang harus dijalani keadaan sehat “berpindah” menjadi sakit.
Perpindahan yang menarik adalah perpindahan uang negara ke rekening pribadi. Data lama tahun 2014 data Kemendagri menjelaskan setidaknya tercatat 343 orang gubernur, bupati, walikota yang ada masalah hukum baik di kejaksaan, polisi, KPK. Mereka para pemimpin yang tak “berpuasa”. Tersangkut “pesta” uang negara. Rakyat berpuasa pemimpinya pesta pora. Sebuah anomali di negara yang menjelaskan para pejabatnya masih musafir dan mustadh’afin.
Ghonimah, gundik, menghardik, gaduh, rusuh, demo, sumbu pendek, bom bunuh diri dan beragam jenis perilaku tuna etika masih menguat di negeri ini. Potensi kegaduhan, pertengkaran dan saling membinasakan karakter lawan adalah biasa. Pantas saja dahulu kala Belanda, Inggris, Jepang, Prancis dan Portugis tidak terlalu sulit menguasai negeri ini.
Mengapa para kaum kolonial tidak terlalu sulit menguasai negeri ini? Padahal jumlah mereka sangat sedikit pada saat datang dan menegakan kekuasan di Indnoesia? Diantara jawaban faktualnya adalah karena bangsa kita adalah bangsa yang potensi senang bertengkarnya telah berhasil dikelola dengan baik oleh para penjajah.
Ketika bangsa asing masuk dengan strategi, maka bangsa kita menghadapi dengan emosi dan kebencian. Si Pemain Strategi unggul dan terkontrol, Si Emosi yang penuh kebencian lemah daya nalarnya dan terjebak dalam seting lawan. Kekuatannya dilemahkan dan kelemahannyan dikuatkan. Si Penjajah sedikit tapi lincah dan menguasai medan. Si Pribumi yang banyak gaduh dan gagap.