Bila ada seseorang berani berpindah agama demi menyelamatkan ketatanegaraan yang masih kental dengan budaya korupsi dan berbagai penyimpangan di negara kita akan distigma sebagai pribadi yang murtad, menjadi kafir atau ahli neraka versi agama yang ditinggalkannya. Walaupun versi agama yang dimasukinya akan disambut dan dipuja sebagai ahli surga dan orang yang mendapatkan hidayah.
Pindah agama adalah sesuatu yang sangat pribadi tetapi dapat melahirkan kehebohan terutama bila dilakukan oleh tokoh publik. Apalagi tokoh publik itu adalah seorang yang diduga berambisi meraih kekuasaan. Suudhon agama dan fitnah politik akan deras mengalir. Padahal dalam undang-undang di republik ini diperbolehkan dan menjadi hak setiap warga negara untuk berpindah atau berpindah-pindah agama sebagai hak dasar dalam mencari keyakinan kebertuhanan.
Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”): “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Indonesia adalah satu negara yang memiliki peluang negara terbaik dan terbesar di dunia, khususnya di wilayah Asia Tenggara. Masalahnya adalah belum ada kepemimpinan yang mampu membangunkan kekuatan bangsa Indonesia menjadi negara yang hebat. Perlu seseorang setingkat presiden yang memiliki kepemimpinan yang transformatif dan berani melakukan revolusi dan reformasi total atas segala kekurangan selama ini. Dibutuhkan seseorang yang terbaik dan mendapat dukungan semua pihak.
Seseorang terbaik bisa terlahir dari komunitas manapun asal Dia adalah warga negara Indonesia, seseorang terbaik tidak harus terlahir dari wilayah agama tertentu. Pribadi terbaik biasanya terkait dengan karakter dan pengalaman pribadi bukan hanya agama yang dianutnya. Agama yang dianut seseorang akan berpengaruh terhadap sikap seseorang namun sikap seseorang lebih banyak ditentukan oleh karakternya, bukan agamanya.
Ada sosok yang sangat menarik untuk dipelajari, yakni Basuki Cahaya Purnama. Hari ini Dia adalah Gubernur DKI Jakarta yang ketiban amanah karena Jokowi menjadi presiden. Hampir tidak ada abdi negara setingkat gubernur yang lebih “seleb” dibanding Basuki Cahaya Purnama yang lebih dikenal Ahok. Ahok adalah pribadi yang unik untuk dipelajari. Ia termasuk generasi muda pembaharu yang memiliki keunikan tersendiri. Ia adalah WNI China, bukan muslim, berlatar pedagang, terkenal temperamental, anti korupsi dan siap mati demi sebuah kebenaran, demi prinsip yang dianutnya.
Ia pernah mengatakan berani mati melawan koruptor. Bahkan Umar Zidans, seorang kolumnis di Kompasiana menuliskan “Jika ada seorang Ahok berbaju coklat PNS berani mati, mungkinkah ada yang berseragam loreng TNI berani mati melawan koruptor? Ini sebuah apresiasi bagi Ahok yang dianggap murni berani karena punya misi menegakan negara yang bersih, khususnya DKI Jakarta.
Ungkapan bernai mati demi Jakarta, demi rakyat dan kelak Ia akan berani mati demi Indonesia. Saya memprediksi dan “mencurigai” nasib Ahok akan sampai pada titik dimana Ia merefleksi diri untuk berani mati dalam versi kematian spiritualitas pindah keyakinan. Ia akan berpikir kepentingan imannya tidak lebih penting darin kepentingan rakyat Indonesia. Ia adalah sosok yang bisa berbuat nekad, kontroversi, radikal dan “ganas” bila Ia meyakini bahwa untuk menebus sebuah perubahan (dalam bahasa Dia transformasi) harus melalui pindah agama.
Pindah agama demi negara adalah perbuatan nekad yang hampir tidak ada seorang pemipinpun yang melakukannya. Bahkan yang ada saat ini adalah tidak sedikit para pemimpin begitu taat beragama, bergelar haji, meresmikan beberapa mesjid, yayasan sosial, pendidikan di pesantren namun korup dan bahkan berani “membisniskan” haji dan percetakan Al Quran dll. Ini realitas yang terus masuh terjadi. Negeri ini membutuhkan pribadi pemimpin yang “edan” berani mengorbankan apapun demi kepentingan negara. Bukan sebaliknya berani mengorbankan semua milik negara demi kepentingan pribadi, kelompok dan paratai tertenu.
Kalau saya jadi Ahok maka saya berani pindah agama menjadi penganut agama mayoritas demi kepentingan perbaikan ketatanegaraan. Bunuh diri bukan hanya meledakan bom dan menewaskan ribuan orang melainkan alangkah lebih baik “bunuh diri” positif dengan mementingkan kesejahteraan bersama. Berani masuk neraka sendiri demi kesejahteraan rakyat adalah tindakan yang pahit tapi harus dipilih bila peduli negara. Jangan tanya apa yang dapat negara berikan tapi tanya apa yang kamu dapat berikan untuk negara. Bila perlu korbankan ibu kandung demi ibu pertiwi. Korbankan diri demi negeri. Korbankan keyaninanmu demi keyakinan orang lain.
Dalam benak Ahok mungkin perlu sebuah "kebodohan" ekstrim untuk memperbaiki negeri ini daripada jutaan orang pintar tapi munafik. Ahok punya sisi lain, Ia bersekolah sejak SD-SMP di sekolah Islam, Ia sangat mengagumi Nabi Muhammad, Ia menghajikan ratusan orang yang tidak mampu tahun 2006 dan Ia memandanga pentingnya Mesjid sebagai tempat ibadat dan penggerak perubahan sosial DNK