Organisasi profesi terbesar di Indonesia adalah PGRI. Jumlah anggotanya jutaan dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia bahkan sampai ke pelosok. Organisasi PGRI menjadi menarik bagi kalangan tertentu yang faham tentang pentingnya “menguasai” sebuah komunitas atau organisasi mapan dalam era global saat ini. Pepatah global melahirkan spirit pentingnya menguasai sebuah komunitas sebagai market.
Komunitas yang mapan apalagi jumlahnya signifikan adalah market potensial bagi pihak-pihak tertentu baik swasta, birokrasi dan politik. Perusahaan, politisi dan para birokrat politik setingkat para kepala daerah sangat “berbirahi” terhadap komunitas-komunitas mapan yang jumlah anggotanya gemuk. PGRI adalah organisasi profesi yang anggotanya paling gemuk, mayoritas sarjana dan ada di semua wulayah. Bahkan tidak sedikit yang berperan sebagai pelayan publik seperti RT/RW dll.
PGRI sangat seksi dan prospektif bagi siapapun, baik pengusaha, politisi dan birokrat politik untuk menguasai PGRI. Upaya “kapitalisasi” PGRI hampir terjadi dimana-mana. Karena memang terbukti PGRI mampu menguntungkan berbagai pihak karena kemapanan organisasi dan jumlah anggotanya yang gemuk tersebar signifikan. Bahkan diantaranya Bank BJB termasuk bank yang hidup dari komunitas para anggota PGRI.
Menarik dicermati adalah “lebaynya” birokrasi setingkat para kepala daerah yang ada di seluruh Indonesia dalam “mengkapitalisasi” eksisitensi PGRI. Tidak sedikit PGRI yang dikapitaslisasi demi kepentingan politik. Urusan internal PGRI terkadang mendapat infiltrasi birokrasi demi tujuan politik. PGRI telah menjadi “korban” politik. Struktur kepengurusan terkadang diobok-obok demi kepentingan tertentu.
PGRI sejatinya adalah wadah organisasi perjuangan para guru dalam meningkatkan profesionalisme, perlindungan anggota, kesejahteraan dan peran publik lainnya. Sayang sekali bila terjadi kapitalisasi oleh birokrasi kedalam tubuh PGRI. Contoh sederhana adalah ikut campurnya para kepala daerah dalam menentukan siapa yang duduk dalam kepengurusan organiasi, atau berusaha menempatkan “orang suruhan
“ untuk menjadi pengurus harian PGRI.
Tidak menutup kemungkinan mulai dari Ketua PGRI dan jajarannya bahkan sampai Ketua IGTK akan mendapat infiltrasi dari birokrasi pemerintah daerah melalui orang suruhan. Kepala daerah yang faham akan etika birokrasi dan menghargai marwah organisasi PGRI akan bermain cantik dan ramah pada PGRI. Infiltrasi, sabotase, tekanan dan upaya “meng-embargo” organisasi PGRI adalah bagian dari upaya kapitalisasi organisasi PGRI. Sebaiknya hal ini segera dihentikan! Terlalu banyak hal saat ini yang dipolitisasi. Sisakan PGRI karena di dalamnya adalah para pendidik. Para pendidik adalah pilar terakhir dalam menanggulangi rusaknya bangsa ini.
PGRI harus independen. PGRI bukan organisasi yang dibuat sebagai asesoris politik. PGRI dihadirkan sebagai mitra pemerintah dalam membangun akselerasi pendidikan dengan menjungjung tinggi tujuan pendidikan nasional. Ini tertera dalam UUGD No 14 Tahun 2005 dan PP No 74 Tahun 2008. PGRI dapat dijadikan mitra terbaik para kepala daerah tapi bukan dengan jalan mengkapitalisasi melalui penguasaan para pengurusnya.
Kepala daerah yang cerdas dan faham etika birokrasi akan sangat menghargai otoritas internal PGRI dan ikut mendukung setiap kebutuhan organiasi. Bukankah para kepala daerah adalah bagian dari dewan penasehat PGRI? Dewan penasehat berfungsi memberi nasehat bukan mengatur kepengurusan. Alangkah indahnya bila para kepala daerah di Indonesia mampu memberi berbagai dukungan pada PGRI sebagai ucapan terimakasih atas nasibnya menjadi pemimpin karena semuanya terkait jasa para guru.