Mohon tunggu...
DUDUNG NURULLAH KOSWARA
DUDUNG NURULLAH KOSWARA Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

History Teacher in SMANSA Sukabumi Leader PGRI Sukabumi City

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Bukan Tukang Sulap

22 September 2016   17:16 Diperbarui: 22 September 2016   17:31 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat Kemdikbud melalui dirjen GTK mengeluarkan aturan bahwa kelulusan PLPG dari 42 menjadi 80 adalah kebijakan yang “baper.” Mengapa baper? Karena tuntutan oleh bank dunia yang “memerintahkan” agar kompetensi guru Indonensia ditingkatkan dan ditindaklanjuti dengan ajaib tanpa sosialisasi yang cukup dengan kebijakan mengagetkan yakni nilai kelulusan PLPG dari 42 harus menjadi 80. Menurut penulis kebijakan ini mirip permaiana sulap untuk menghibur para penontonnya dalam hal ini penonton tunggal yakni bank dunia.

Kebijakan lompat kelulusan ini dilakukan karena sebelumnya Sumarna Surapranata selaku Dirjen GTK mengatakan "Dari hasil laporan Bank Dunia (world bank-red), ditemukan data bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam nilai uji kompetensi guru (UKG) antara guru yang sudah tersertifikasi dan guru yang belum tersertifikasi. Karena itu kami tingkatkan batas kelulusannya.” Sumarna lupa bahwa dalam UKG dan PLPG memang tidak akan ada perbedaan signifikan. Karena banyak faktor penyebabnya.

Bisa terjadi guru honorer muda yang masih segar ingatan dan kemampuan IT-nya berhadapan dengan guru senior yang sudah tersertifikasi bahkan bukan S-1 dan sudah mulai melambat saat diuji kompetensinya melalui UKG jelas bisa kalah nilai sama yang muda dan belum tersertifikasi. Tuntutan ideal seperti yang dikehendaki bank dunia agar yang sudah tersertifikasi nilai UKG-nya harus lebih tinggi dari yang belum tersertifikasi adalah sebuah idealitas yang tak rasional.

Bukankah UKG dan PLPG cenderung hanya mengukur kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional? Bukankah kompetensi yang lain yakni kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dedikasi dan kegiatan lain yang tak terukur dengan UKG dan PLPG tidak terakumulasi dalam nilai hasil UKG dan PLPG? Bila Kemdikbud dalam hal ini Dirjen GTK menjadi sponsor menaikan nilai minimal kelulusan 80 dari 42 ini namanya menyulap guru. Guru digiring menjadi pesulap secara kolektif untuk “meloncat” bareng dari angka 42 ke angka 80. Ajaib dan tidak elok.

Sekali lagi guru adalah profesi yang bergerak di dunia pendidikan. Dunia pendidikan adalah dunia proses bukan dunia instan, meloncat dan seperti sulap. Kebijakan Dirjen GTK telah memberikan sebuah kesimpulan pada komunitas guru bahwa PLPG dijadikan ajang komoditi “politik” untuk menjawab bank dunia selain peningkatan profesi guru. Para guru bisa berpikir bahwa Kemdikbud lebih mengutamakan tuntutan bank dunia dibanding gerakan bertahap secara rasional untuk meningkatkan kompetensi guru.

Untuk meningkatkan empat kompetensi guru dan dinamika peningkatan kapasitas guru lainnya dibutuhkan dukungan pemerintah dalam bentuk kesejahteraan, perlindungan guru, fasilitas dan hal lainnya yang berkaitan dengan kemudahan guru untuk belajar. Bila semua layanan birokrasi pendidikan sudah diberikan secara maksimal tuntutan “meloncat” meningkatkan nilai PLPG dari 42 menjadi 80 lebih bisa diterima. Bila dinamika permasalahn guru masih maju mundur seperti masalah TPG, masalah guru non PNS (HK2), kenaikan pangkat, politisasi, periodisasi, mutasi, rotasi, promosi dan jaminan perlindungan guru masih jauh dari baik maka elokah “perbuatan” pemerintah menuntut guru untuk meraih nilai minimal kelulusan 80 dari nilai kelulusan 42?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun