Mohon tunggu...
DUDUNG NURULLAH KOSWARA
DUDUNG NURULLAH KOSWARA Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

History Teacher in SMANSA Sukabumi Leader PGRI Sukabumi City

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alih Kelola atau Alih "Ko Lola"?

10 Februari 2017   08:59 Diperbarui: 10 Februari 2017   09:17 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ekspektasi guru-guru SMA/SMK untuk lebih baik pasca alih kelola dari pemerintah daerah kota/kabupaten  ke pemerintah daerah setingkat provinsi cukup kuat. Impian lebih sejahtera, terlindungi dan mendapatkan kemudahan dalam mengembangkan profesionalitas kolektif guru cukup menguat.  Ini realitas modal mental kolektif awal yang harus difahami pemerintah provinsi bahwa para guru SMA/SMK  mayoritas “mendukung” penuh alih kelola.

Beberapa permasalahan guru yang belum sempat terselesaikan di era pra alih kelola diharapkan tuntas ketika para guru SMA/SMK sudah ditangani pemerintah provinsi. Hal yang paling mengemuka adalah nasib para honorer di semua kota/kabupaten di Indonesia karena cenderung diskriminatif dan belum dilayani dengan baik.  Alih kelola bagi para guru honorer adalah impian alih nasib.

Jujur, alih kelola adalah  alih nasib dalam perspektif kolektif para guru honorer SMA/SMK. Bila penanganan para guru honorer pasca alih kelola terkesan lambat dan tidak siap maka pelan tapi pasti akan menimbulkan keresahan. Keresahan para guru honorer SMA/SMK jangan sampai “menular” ke wilayah pemerintahan provinsi.

PGRI sebagai organisasi profesi guru sudah sangat lama memahami kuatnya aspirasi dan ekspektasi para guru SMA/SMK untuk lebih baik dan dimanusiawikan.  Pada UURI No 14 Tahun 2005 (UUGD)  Pasal 39 dijelaskan bahwa “Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.” Realitasnya upaya “perlindungan” terhadap guru-guru terutama yang masih honoerer masih jauh panggang dari api.

Pesan “perlindungan” dalam undang-undang di atas mengacu pada betapa pentingnya para guru untuk diperhatikan kesejahteraan dan kehormatan profesinya. PGRI  sebagai organisasi terbesar dan memiliki anggota sampai ke pelosok gunung memahami realitas objektif disetiap satuan pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia masih banyak guru-guru terutama yang honorer belum terlindungi.

Melihat undang-undang dan hadirnya era alih kelola maka pemerintah provinsi wajib mengambil momen untuk memberikan “perlindungan” terhadap realitas diskriminatif yang selama ini belum terselesaikan. Idealitas kebijakan birokrasi pendidikan yang mesti dilakukan pasca alih kelola adalah SEGERA!!! Selamatkan nasib guru-guru honorer. Bila tidak ada tindakan segera dan terlihat lambat maka dipastikan pelan tapi pasti akan ada kesimpulan kolektif para guru honoerer bahwa alih kelola adalah alih politik, bukan alih “perlindungan”

Bila alih kelola dipersepsi guru SMA/SMK identik dengan alih politik, alih proyek, alih hegemoni dan alih aset  yang disponsori oleh politik pemerintah pusat maka akan menjadi masalah baru. Semoga realitasnya tidak demikian. Bahkan yang harus terjadi adalah persepsi positif para guru SMA/SMK bahwa alih kelola adalah alih kesejahteraan, alih nasib lebih berkembang, alih pengabdian lebih luas dan penyegaran birokrasi yang merit mutualistik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun