Mohon tunggu...
DUDUNG NURULLAH KOSWARA
DUDUNG NURULLAH KOSWARA Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

History Teacher in SMANSA Sukabumi Leader PGRI Sukabumi City

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sri Mulyani "Sentuh" Guru

14 Juli 2018   04:42 Diperbarui: 14 Juli 2018   04:49 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menkeu Sri Mulyani  menyatakan bahwa  "Sertifikasi enggak mencerminkan apa-apa, hanya prosedural untuk mendapat tunjangan." Ungkapan tersebut adalah sebuah ungkapan yang benar namun kurang tepat. Benarnya karena  menjelaskan  sebagian realitas  guru, kurang tepatnya karena bukan jawaban ini yang dikehendaki para guru.

Menkeu adalah ahli ekonomi dan seorang pakar yang kelas dunia.  Statemen tentang TPG guru yang belum identik dengan peningkatan kulaitas guru  adalah ungkapan yang mendekati kebenaran. Sayang beliau tidak mengungkap "sisi gelap" pencairan TPG  dan BOS yang lelet dan masih menjadi kendala bagi para guru. Idealnya Sri Mulyani sedikit membahas tentang layanan keuangan negara terhadap guru.

Terkait peningkatan kompetensi dan prestasi guru karena ada TPG, menurut Saya itu bukan urusan Menkeu. Urusan peningkatan mutu guru adalah urusan Mendikbud. Idealanya Mendikbud memompa kualitas guru, Menku memompa kesejahteraan guru. Urusan guru belum kompeten dan masih jauh dari harapan pemerintah,  itu adalah urusan  internal Kemdikbud dan para guru.

Pemerintah idealnya menuntut para guru  ketika tata kelola guru, tata kelola kesejahteraan guru dan nasib guru honorer sudah diperbaiki. Bagaimana mungkin guru dituntut meningkatkan kompetensi sementara beban finansial guru dan sekolahan masih tidak tepat waktu. Bagaimana lambatnya BOS, TPG dan belum UMP nya para guru honorer. Menuntut guru dengan tuntutan para guru yang belum dipenuhi  dahulu memang  sulit.

Sebuah ungkapan bijak mengatakan, "Tidak ada anak yang bodoh melainkan Si Anak belum menemukan guru yang hebat". Bila ungkapan ini kita kaitkan dengan realitas potensi dan prestasi guru, maka ungkapan lain bisa berbunyi sebagai berikut; "Pada dasarnya tidak ada guru yang bodoh dan tidak kompeten, melainkan Sang Guru belum menemukan tata kelola pendidikan yang hebat".

Tidak ada anak yang salah melainkan orangtua yang salah. Tidak ada prajurit yang salah melainkan jenderalah yang salah. Begitupun bagi para guru. Guru bisa salah dan tak sesuai harapan pemerintah, namun  hal ini siapa yang salah. Guru pada dasarnya sulit disalahkan karena  pemerintahlah yang andil besar dalam tata kelola guru.  Wajah guru saat ini adalah buah dari layanan dan perlakuan pemerintah pada guru.  Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Guru "jatuh" tak jauh dari birokrasi dan pohon  tata kelolanya.

Sulit menuntut para guru karus kompeten dan profesional bila tata kelola pendidikan masih bermasalah. Sulit menuntut para guru menjadi lebih hebat bila gaji guru di negeri ini masih kelompok negara dengan gaji guru tertendah. Bisa dibayangkan bila satu keluarga guru honorer harus menyekolahkan  tiga anaknya sampai perguruan tingi. Bagaimana bisa,  gaji guru dibawah Rp. 1 juta harus menghidupi lima anggota keluarga. Wow sebuah derita dahyat. Bagaimana ini Bu Menkeu?       

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun