Mohon tunggu...
DUDUNG NURULLAH KOSWARA
DUDUNG NURULLAH KOSWARA Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

History Teacher in SMANSA Sukabumi Leader PGRI Sukabumi City

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Topi Miring Kepala Pusing

11 Februari 2017   11:34 Diperbarui: 11 Februari 2017   11:48 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyimak puisi Gus Mus  dengan judul “Negeri Hah Hihi.” Ia menjelaskan  di negeri ini para penegak keadilan jalannya miring, hakim main mata dengan maling dan wakil rakyat baunya pesing.  Puisi, film, novel dan berbagai karya kreatif manusia mampu menjadi miniatur dari representasi realitas.  Seorang cerdik akan mampu mengartikulasi dinamika realitas dalam kemasan  karya yang menggelitik.

Sebenarnya siapa yang salah sehingga terlahir dagelan menarik  dari para “gegeden” kita?  Mungkin dunia pendidikan kita yang salah karena hampir semua sosok yang dikritisi Gus Mus adalah mereka yang telah mengenyam dunia sekolahan, bahkan bukankah mereka mayoritas bahkan sarjana? Dunia sekolahan adalah dunia pendidikan dan para pendidik ada didalamnya.

Para pendidikkah  yang bertanggung-jawab atas lahirnya sosok-sosok yang “Hahah Hihih”? Tunggu dulu! Secara tidak langsung para pendidik  memang dapat terlibat dalam melahirkan para tokoh publik yang hahah hihih, namun tidaklah adil bila lahirnya sosok-sosok yang miring, main mata dan bau pesing ditimpakan pada pendidik.

Menyimak pendapat mantan wakil presiden Prof Dr Boediono Ia mengatakan bahwa negeri ini akan membaik bila  pribadi-pribadi terbaik  dapat menjadi birokrat, penegak hukum dan politisi. Artinya dunia “hahah hihih” dapat diminimalisir dengan masuknya orang-orang terbaik dalam wajah eksekutif, yudikatif dan legislatif kita. Budiono menghendaki kita harus menjadi “sponsor” terlahirnya sosok-sosok terbaik dalam dimensi birokrasi kita.

Hadirnya para tokoh publik yang jalannya miring, sempoyongan dan topinya miring karena  tersandera kongkalingkong  dengan pihak-pihak tertentu dalam rangka menggapai ambisi pribadi. Bila kepentingan pribadi dan pesan sponsor dari pihak tertentu menjadi visi tokoh pelayan publik maka kebijakan yang akan terlahir adalah kebijakan topi miring. Seperti  seorang wasit yang topinya miring akan berdampak pada anomali jalannya  sepak bola.

Topi miring kepala pusing bisa terjadi pada para pelayan publik di negeri ini. Pada dasarnya bisa terjadi seorang tokoh pelayan publik berbuat kongkalingkong karena tekakan atasan. Ia inginnya ideal tapi pesan sponsor harus pragmatis  dan realistis ini dapat menyebabkan migren atau kepala pusing. Topi miring kepala pusing dapat terjadi pada sebagian tokoh pelayan publik. Birokrasi komplikasi, ngejelimet banyak tuntutan hahah hihih menjadi realitas.

Stroke, jantung, darah tinggi dapat menjadi bagian dari realitas kesehatan para tokoh pelayan publik.  Hal ini terjadi karena ngejelimetnya realitas keseharian kehidupan disekitar mereka yang banyak tuntutan dari segala penjuru arah angin. Anehnya masalah kesehatan bagi sekian para pelayan publik dinegeri ini  dapat menjadi “permaianan”.

Bukankah seorang pejabat yang terkena tindak pidana suka pura-pura sakit? Bukankah tidak sedikit pejabat yang sakit pura-pura sehat demi mengikuti seleksi naik jabatan, ikut pileg, ikut pilkada dll.?  Bukankah tidak sedikit anggota legislatif terkena narkoba, bahkan seorang kepala daerah menjadi pemakai? Ini realitas anomali di negeri kita.  Kita sebagai  warga negara  harus ikut terlibat dalam meminimalisir terjadinya berbagai anomali. Terutama bagi para pendidik di negeri ini tanggung jawabnya sangatlah berat.

Para pendidik harus  memahami anomali hari ini dan bagaimana seharusnya memperbaiki masa depan. Menjadi pendidik yang baik dan mengutamakan etika masa depan dengan berkhidmat pada pelajar, generasi muda  dan mahasiswa yang hari ini masih idealis. Setidaknya para pendidik harus membumikan dengan baik etika, estetika, intelektualitas dan spiritualitas. Generasi muda yang beretika setidaknya menjadi harapan masa depan yang lebih baik.

Dengan proses pendidikan yang baik diharapkan masih ada  peluang untuk memperbaiki negeri ini menuju lebih baik. Dimulai dari pendidikan, birokrasi pendidikan dan pemerintah yang menjadikan pendidikan sebagai skala prioritas. Hindari pengangkatan pejabat pendidikan dari hasil kongkalingkong. Sistem meritokrasi dan birokrasi prestatif harus dikedepankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun