Hari Rabu tanggal 6 Januari 2016 sekitar pukul 15.00 WIB sore ditempat saya bekerja kedatangan beberapa guru mengadukan nasibnya berkaitan dengan TPG. Pengaduan yang cukup mebuat mata agak sembab karena dua Ibu Guru yang mengadukannya meneteskan air mata saat menceritakan pada penulis.
Guru pertama bernama Ibu Rosita menceritakan kisah orangtuanya yang meninggal di Cianjur. Sejak tanggal 6 sampai 9 Nopember Ia menemani orangtuanya terkena stroke sampai akhirnya wafat. Empat hari Ia tidak masuk mengajar karena merawat Ibu tercinta menjelang ajal. Kisah tragis Ibu guru ini ternyata tidak cukup sampai disana, aturan negara melaui Juknis TPG tahun 2014 mengharuskan Ia tidak mendapatkan hak TPG-nya, karena dalam satu bulan tidak boleh meninggalkan tugas lebih dari 3 hari baik sakit ataupun menengok orantua yang sakit. Ibu tercinta meninggal dunia TPG hilang.
Guru kedua bernama Ibu Noneng lebih tragis lagi bila juknis TPG 2014 tidak direvisi. Ia mengalami kontraksi dan keguguran, dikiret dan buah hati yang sudah dikandungnya selama tiga bulan “meninggal” dunia. Kisahnya berawal dari tugasnya sebagai guru yang menangani bidang kesiswaan. Ia sering pulang sore demi melayani peserta didik.
Suatu saat sekolah dimana Ia mengajar hendak tawuran dengan sekolah lain, kebetulan ketahuan sama Ibu guru yang satu ini. Ketika dua kelompok siswa jenjang SMP ini hendak tawuran sudah berhadapan maka berhasil dibubarkan oleh Ibu guru ini. Ia berlari sekitar 500 meter di atas rel kereta api, kesana-kem pelajari untuk membubarkan kerumunan siswa yang mau tawuran. Rasa tanggungjawabnya untuk menghindari radikalisme dan anarkisme serta jatuhnya korban dikalangan pelajar membuat Ia “lupa diri” bahwa dirinya sedang mengandung 3 bulan.
Sungguh malang nasibnya, tak lama setelah kejadian itu Ia mengalami kontraksi yang berat dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit dirawat beberapa hari. Atas saran dokter maka Sang Buah hati yang didambakan mengalami keguguran, kiret menjadi pilihan pahit yang tak dapat dilupakannya. Tragedi ini dalam juknis TPG 2014 “tak terampuni” maka Ia tidak akan mendapatkan hak TPG-nya sekalipun Ia sudah berjasa membubarkan tawuran yang dimungkinkan akan terjadi korban. Bahkan, Ia sudah “mengorbankan” anak kandungnya sediri demi para pelajar yang menjadi tanggung jawabnya.
Puluhan kisah memilukan tentang nasib guru yang tidak difahami pemerintah terutama berkaitan dengan Juknis TPG 2014 harus segera dihentikan. Saran penulis bila Juknis TPG tidak segera direvisi dimungkinkan akan banyak “jatuh korban.” Bahkan di SMPN 17 Bekasi atas nama Bapak Adi yang sudah meninggal harus mengembalikan TPG katrena sebelum meninggal Ia sakit dahulu. Pemerintah mungkin menghendaki para guru kalau “mau” meninggal jangan sakit dahulu dalam artian harus langsung meninggal.
Juknis TPG 2014 “menolak” guru sakit lebih dari 3 hari, “melarang” guru menunaikan umroh dan ibadah haji. Alangkah bijaknya bila Juknis TPG 2014 mencabut hak TPG guru bila haji yang kedua, umroh yang kedua dan sakit yang dialami karena tidak melaksanakan tugas keguruannya. Saya sebagai Ketua PGRI menyatakan Juknis TPG 2014 diskriminatif dan tidak manusiawi, menabrak UURI No 14 Tahun 2005, PPRI No 74 tahun 2008 dan UURI HAM No 39 tahun 1999. Bila Juknis TPG tidak direvisi maka ini indikasi keberpihakan pemerintah pada profesi guru masih jauh panggang dari api.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H