Sejak tahun 2015, Museum mulai bisa merebut hati para pengunjungnya. Semua itu berkat diterapkannya teknologi di museum -- museum tersebut. Sebut saja contohnya Augmented Reality, Smart Table dan teknologi lainnya.
Teknologi di museum lain seperti Cooper Hewitt's Pen, yang diberikan kepada pengunjung ketika mereka datang, dengan Hewitt's Pen kita bisa mengumpulkan dan menyimpan objek yang menarik dan mengunggahnya secara online, yang secara tidak langsung menunjukan kepada pengunjung bahwa "ini adalah museum canggih".Â
Begitu juga dengan Cleveland Museum of Art yang menciptakan dinding interaktif setinggi 40 kaki, yang merupakan hasil pengembangandari VR dan AR yang kemudian menonjol sebagai teknologi yang dominan di sana, karena kekuatannya untuk menarik pengunjung tidak hanya ke dunia lain tetapi kembali ke masa lalu.
Proyek Pufferfish dari Advisor, telah berhasil  menerapkan teknologi di museum Jerman dan telah membantu mereka menarik pengunjung ke museum. VR juga bisa dimanfaatkan untuk menciptakan pameran fotografi. VR memiliki potensi luar biasa untuk menciptakan kembali sejarah di sekitar kita secara virtual.
Seiring dengan berkembangnya teknologi canggih, akan semakin banyak teknologi di museum bisa diterapkan dan otomatis biaya untuk menciptakan teknologi tersebut juga menjadi semakin murah, dan itu membuktikan bahwa masa depan museum canggih di dunia, tidak terkecuali di Indonesia menjadi semakin cemerlang.
Beberapa institusi telah benar-benar mendorong penggunaan VR ke tingkat ekstrim seperti Museum Kremer, yang telah resmi bisa diakses mulai bulan November 2017.Â
Museum ini menampilkan lebih dari 70 lukisan abad ke-17 Belanda dan Flemish yang telah difoto antara 2.500 dan 3.500 kali menggunakan teknik 'fotogrametri' untuk membangun satu model visual resolusi ultra tinggi untuk setiap lukisan, 'memungkinkan pengunjung untuk menikmati pengalaman mendalam dengan lukisan.'
Di Jepang baru-baru ini diumumkan bahwa tim seni kolektif 'ultratechnologists' akan meluncurkan Museum Seni Digital mereka di Tokyo pada musim panas, yang akan sepenuhnya diisi dengan karya digital. Mereka mengatakan: "Teknologi digital telah memungkinkan kami untuk membebaskan seni dari batas fisik dan melampauinya."
Brendan Ciecko, chief executive berusia 30 tahun dan pendiri Cuseum, perusahaan AS yang diluncurkan pada tahun 2014 yang memberdayakan aplikasi seluler di museum, mengatakan bahwa teknologi melampaui seni. Cuseum baru-baru ini bekerja pada Felice Grodin: Invasive Species pameran pertama di dunia dalam menggunakan ARKit Apple di The Perez Art Museum di Miami (PAMM).
Dalam kasus PAMM, mereka didorong oleh misi kelembagaan dan komitmen mereka untuk mendukung seniman dan menugaskan karya digital baru untuk pameran AR-powered sepenuhnya.Â