Secara naluri manusia akan mencari sesuatu yang dia sukai. Jika seorang pria akan mencari jalan untuk mendapatkan pasangannya yakni seorang wanita idaman.
Kesan pertama yang dilihat seorang pria adalah wajahnya yang menarik, setelah itu baru mencari latar belakang dirinya.
Begitu pun seorang perempuan akan tertarik kepada seorang pria karena ketampanan wajahnya, baru setelah itu dia mencari latar belakang sang pria tersebut.
Ketertarikan itu menafikan segala sesuatu yang logis, bahkan karenanya cinta selalu dikaitkan dengan satu hal yang tidak logis artinya selalu dikatakan dengan cinta itu buta tidak pernah memandang apa pun, tidak pernah memperhatikan untung-rugi.
Saat cinta itu tiba, menerpa kepada seseorang maka yang dia ikuti adalah hasrat cinta dia terhadap orang yang menjadi idamannya. Tak pelak kebutaan itu menuntun dia melabrak segala aturan yang telah lama berlaku di keluarga sendiri atau di lingkungan masyarakat.
Terkadang melabrak sendi-sendi yang bersifat prinsip dan saat itu tidak menjadi masalah karena cinta masih mengemudi dada-dada mereka.
Jika pun ada yang menasihati maka akan dianggap angin lalu dan dianggap sebagai penghalang sebuah rasa cinta yang menurut mereka adalah murni dan suci.
Lalu masuklah jenjang perkawinan, segala yang sebelumnya indah dan manis sedikit demi sedikit menjadi hambar.
Kepahitan dan kegetiran mulai terasa saat terjadi perubahan sikap dari pasangan.
Ucapan-ucapan dari orang dekat dahulu terngiang kembali, penyesalan mulai merambah hati. Tapi apa daya nasi sudah menjadi bubur penyesalan di akhir tiada arti.