Gaduh tentang perbedaan waktu jatuhnya Idul Fitri 1444 H, berlanjut ke twit war antara oknum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) representatif dari lembaga pemerintah bidang kosmologi dengan netizen pro Muhammadiyah.
Saat salah seorang peneliti BRIN bernama Andi Pangerang Hasanuddin. Mengomentari status Facebook peneliti senior BRIN Prof Thomas Djamaludin.
Dalam unggahan statusnya Prof. Djamaludin menulis tentang keheranannya kepada Muhammadiyah yang berseberangan dengan pemerintah dalam penentuan tanggal Idul Fitri. "Eh, sekarang malah minta salat di lapang danpemerintah pun memfasilitasi," ujarnya.
Alhasil dari unggahan sang profesor tersebut memicu komentar pro dan kontra warga net. Ada banyak yang kontra pada statusnya. Saat itulah memancing emosi salah satu peneliti BRIN lain yakni AP Hasanuddin.
AP Hasanuddin memberi komentar keras dengan menyebut warga Muhammadiyah tak tahu diri dan berniat membunuh satu per satu warga persyarikatan tersebut.
Jelas dampak dari komentarnya tersebut memicu polemik yang lebih besar lagi. Alih-alih mendapat dukungan, malah sebaliknya dia mendapat banyak kecaman dan disebut tak pantas sebagai ASN yang diupah dari uang rakyat, bisa-bisanya berkomentar seburuk itu.
Tak selang lama AP Hasanuddin pun menyatakan minta maaf karena komentarnya itu, dan dia beralasan karena saking emosinya dia khilaf sampai berkomentar seperti itu.
Thomas Djamaluddin pun membela anak buahnya dengan menyebut kita harus lihat konteksnya.
Medsos Jahat
Bermain media sosial (medsos) tak ubahnya kita sedang berselancar menyusuri ruang-ruang tanpa batas dan waktu yang tak beruas.
Sekat sosial serta merta hilang. Seorang intelektual setingkat Profesor-Doktor bisa gatal melayani komentar bocah ingusan yang tak tamat sekolah.
Tak ada panduan khusus bagi seseorang untuk bermain medsos selain dia harus mampu mengontrol emosinya sendiri.
Ruang medsos harusnya hanyalah sekadar ruang hiburan atau edukasi, bukan untuk saling mencaci maki.
Ruang medsos sekarang diseret-seret oleh para penggunanya ke dunia nyata. Banyaknya hujatan-hujatan dan penyebaran berita hoaks lewat medsos, bisa mengancam pelakunya terkena UU ITE.
Adapun jerat pasal pencemaran nama baik di media sosial selain dalam KUHP juga dapat merujuk pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45ayat (3) UU 19/2016 yang mengatur setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatanpenghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana penjara paling lama 4 tahundan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Begitu jahatnya ruang medsos, caci mencaci sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah. Saling ancam dan tebar teror menjadi pandangan yang biasa. Pansos merupakan modal yang paling murah untuk mempromosikan diri.
Layakkah Medsos Dipertahankan?
Menjamurnya platform digital merupakan salah satu bentuk kemajuan informasi yang tak terbendung.
Suka atau tidak, kemajuan komunikasi-informasi ini sudah era-nya. Bijak dalam berkomunikasi adalah langkah antisipatif agar tidak terjebak dalam dunia caci-maki.
Bagi sebagian pelaku usaha, adanya platform digital seperti Youtube, Facebook, Instagram dan lain-lain, bisa menjadi sarana baru untuk mengumpulkan pundi-pundi uang mereka.
Pelaku bisnis online bisa beriklan dan mampu mendagangkan usahanya sampai ke penjuru dunia.
Oleh karenanya medsos bagaikan pisau bermata dua. Jika penggunanya seorang penjahat maka dia akan digunakan untuk hal-hal yang jahat. Sebaliknya jika pengguna adalah orang baik maka dia akan memberi banyak manfaat.
Jadi bukan pada alatnya yang bermasalah tapi penggunanya, layakkah dia menggunakan medsos untuk kebaikan atau malah membuat kegaduhan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H