Di masa sebelum Masehi, kaum lelaki memandang bahwa perempuan itu tak ubahnya sebagai barang dagangan bahkan bisa diwariskan.
Pada masa Romawi kuno kaum wanita sudah terbiasa diwariskan sang ayah kepada anaknya. Jika sang anak itu suka maka bisa saja dia mengawini ibunya.
Selain itu juga wanita dianggap sebagai kaum yang hina dan lemah karena tidak bisa berperang dan terkesan menjadi beban saja.
Namun jika yang lahir itu seorang anak lelaki, maka akan menjadi kebanggaan keluarganya dan dianggap bisa mengangkat derajat keluarganya. Bahkan waktu itu memadu wanita adalah hal yang sangat biasa sekali.
Seorang pria bisa memiliki istri lebih dari satu bahkan 10 istri atau lebih pun menjadi hal yang lumrah. Tak hanya itu saudara kandung kakak beradik pun menjadi hal yang biasa saja ketika dimadu (poligami).
Karena pandangan orang pada waktu itu perempuan tak lebih hanya sebagai pemuas nafsu saja dan seperti barang yang bisa ditukarkan serta diperjual belikan. Tak berbeda jauh apa yang terjadi di Jazirah Arab pun demikian.
Jazirah Arah pra Islam memiliki adat istiadat atau kebudayaan yang memandang wanita itu seperti barang saat seorang wanita ada dalam masa haid/menstruasi, mereka diikat dan diasingkan di tempat tertentu.
Ada beberapa kabilah Arab yang tega mengubur hidup bayi perempuan mereka karena merasa terhina dan takut membawa sial. Perempuan di Jazirah Arab pra Islam diperlakukan tak ubahnya seperti hewan diambil tenaganya namun tak diberi kedudukan yang setara dengan kaum pria diperjual belikan dan cenderung hanya sebagai pemuas nafsu sex semata.
Kemudian Islam lahir sekitar abad ke 7 M dengan membawa dogma keadilan bahwa oleh Islam perempuan di muliakan kedudukannya dan mendapat keadilan gender bukan kesetaraan buta.
Seorang wanita menepati porsinya wanita yang strategis boleh belajar, boleh berpendapat dan hal lain yang menepatkan serta memosisikan mereka sesuai dengan porsinya. Bahkan ada satu perkataan Nabi SAW, yang berbicara tentang Surga itu di bawah kaki seorang ibu.
Dan ada satu hadis lain yang berbicara bahwa harus kepada siapa kita berbakti, Nabi SAW menjawab Ibu mu, Ibu mu, Ibu mu sebanyak tiga kali diulang, kemudian baru Bapak mu. Dan banyak statemen Islam lainnya yang menyatakan bahwa derajat seorang ibu itu spesial di dalam Islam.