[caption id="attachment_82347" align="alignleft" width="310" caption="ilustrasi dari wilisjuhairini.com"][/caption] Kompasiana tidak hanya menjadi rumah belajar menulis bagi anggotanya tapi juga menjadi rumah gossip. Kenapa saya berani mengatakan demikian? Salah satu yang menjadi ukuran adalah ketika perceraian Aa Gym dengan Teh Ninih menjadi sasaran empuk Bu Linda menjadikan tulisannya terpopuler ke dua dalam seminggu ini.
Kita tahu dong bagaimana infotainment ketika memberitakan masalah pribadi atau keluarga seseorang, ya tentunya seorang selebritis. Posisi Aa Gym disini lebih menonjol sebagai seorang selebritis dibandingkan seorang Dai. Tepatnya dai seleb. Popularitas Aa Gym sama halnya dengan popularitas artis papan atas Indonesia yang sering menjadi sasaran empuk media infotainment.
Beberapa kalimat yang saya temukan dalam Tulisan Bu Linda yang berbau gossip dan cenderung menyudutkan Aa Gym adalah sebagai berikut:
“A’a Gym diam seribu bahasa saat dikonfirmasi wartawan. Tampaknya ia sudah tahu akan diterjang para pencari berita, maka tangga darurat dilaluinya untuk keluar dari gedung itu”
Kalimat ini ingin memberikan kesan bahwa apa yang yang dituduhkan selama ini memang benar, sehingga Aa Gym tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan seperti orang yang memiliki banyak kesalahan Aa Gym menghindar dengan melalui pintu belakang.
Aa Gym memang public pigure, tapi saya fikir ketika kehidupan pribadinya tidak ingin diungkap ya tentu adalah hak dia. Inilah khas media infotainment yang ketika sumber berita tidak ingin diungkap kehidupan pribadinya, maka terus di kejar-kejar. Jika pun tidak mendapatkan informasi apa-apa maka diceritakan apa adanya menurut selera pembuat berita, dengan kata-kata yang seolah-olah bahwa wartawan infotainment memiliki hak untuk menentukan kebenaran dengan kata-kata; menghindar lah, tidak mau di wawancara lah, diam seribu bahasa lah dan lain-lain.
“Bahkan, menurut FEMME lagi, di depan pintu masuk gedung, A’a Gym sempat menghampiri sang wartawan dan menyuruh mematikan telefon genggam yang saat itu sedang merekam. “Berikan saya kesempatan untuk tidak usah terlibat dan tolong hargai ulama,” ujar Aa Gym. Saat ia sudah berada di dalam mobilpun, A’a Gym masih membuka jendela kaca mobil sembari berkata, “Tolong ya hargai ulama”.
Wartawan memang menceritakan fakta, tapi salah jalan dalam mengungkapkannya. Komunikasi memang tidak mesti hanya melulu dengan bahasa verbal, bahasa nonverbal pun sudah memberikan pesan tertentu kepada kita. Dalam hal ini Wartawan ini ingin memberikan kesan bahwa Aa Gym ketakutan ketika pernyataannya ditulis oleh sang wartawan sehingga menyuruh mematikannya. Melalui bahasa Nonverbal Aa Gym kepada Sang Wartawan ingin menggambarkan bahwa Aa Gym adalah sosok yang berkebalikan dengan citra Aa Gym yang selama ini dikenal oleh khalayak. Bahkan ia termasuk orang yang sombong karena menolak wawancara dengan wartawan.
“Dari tutur cerita seorang ibunda yang amat kecewa itulah FEMME berhasil mengorek cerita. Semula suaminya, HM Mukhsin sangat mengagumi sang menantu yang dianggapnya serius belajar agama dan rajin ikut dai-dai ke berbagai pengajian. Setelah menuntut ilmu agama di salah satu pondok pesantren di daerah Manonjaya Tasikmalaya dan dukungan penuh dari sang bapak mertua dan istrinya sendiri, A’a Gym melaju menjadi seorang dai. Kepopularitasannya tentu membawa konsekwensi tersendiri. A’a Gym mulai dikagumi banyak orang karena memang pandai menarik perhatian jemaahnya. Tiba-tiba kedua orang tua teh Ninih mendengar kabar pernikahan sang menantunya. Dan, ia mengaku bahwa sang menantu sama sekali tidak pernah minta izin apapun kepada istrinya untuk berpoligami, juga kepada kedua mertuanya. Beban berat dipikul berhari-hari bagi sang ibunda, sehingga ia segan untuk sering-sering ke luar rumah. “Ibu nggak keluar rumah karena malu kalau ditanya-tanya”, ujar sang ibunda teh Ninih. Aa Gym membangun hiduonya dari Zero to Hero, tapi hidupnya tidak istikomah. Begitulah kesan yang timbul dari tuturan wartawan di atas. Dan Aa Gym adalah sosok ulama yang pada akhirnya membuat malu keluarganya sendiri. Ia pun merupakan orang yang tidak tahu etika berpoligami ketika akan menikahi isteri keduanya. Ia telah menyalahi aturan Poligami (menurut penganut poligami). “Ibunda teh Ninih juga merasakan perubahan dari A’a Gym setelah beristri Rini. “Sejak beristri dua, A’a jadi cuek ke orang-orang. Kalau jalan nunduk aja dan nggak ada bercanda-bercandanya, mungkin takut dimarahin sama istrinya”, ujar sang ibu mertua.” Aa Gym juga sebenarnya mengakui apa yang dilakukannya salah, tapi tetap ia lakukan. Intinya bahwa seorang ulama seperti Aa Gym melakukan kesalahan yang ia tahu bahwa ia salah. Ulama macam apa dia? Pantaskah ia masih menjadi panutan, pantaskah ia menjadi figure ulama?. Begitulah kesan yang ditimbulkan dari tulisan tersebut.
“Cerita sang kiyai saat itu kepada saya adalah, ia merasa dibohongi oleh A’a Gym yang semula menikahi Rini dengan mengaku kepadanya sudah atas sepengetahuan istri pertamanya. Percakapan dengan ulama bijak itu, tetap saya simpan saat itu dengan terbesit kecewa. “
Kalimat di atas sangat jelas ingin menunjukan kepada pembaca bahwa Aa Gym sebagai ulama sudah tidak menunjukan keulamaannya lagi, karena ia berani berbohong.
Tulisan Bu Linda tersebut jika tidak dibaca secara kritis akan membawa penghakiman terhadap sosok Aa Gym yang tentu kita sama sekali tidak tahu menahu tentangnya. Dan itu tentu saja sah-sah saja apalagi dengan argumentasi bahwa itu resiko Aa Gym sebagai public pigur.
Namun yang menjadi catatan disini adalah, bahwa kutipan-kutipan tersebut sama sekali tidak langsung berasal dari sumber utama, baik Aa Gym sendiri ataupun Teh Ninih.
Apalagi tulisan tersebut lebih banyak memojokan Aa Gym dan kesannya memaki habis sosok Aa Gym yang pernah menjadi panutan para Ibu-ibu sebagaimana halnya para Wanita mengidolakan Ariel Peterpan.
Disinilah letaknya etika komunikasi harus berperan, sebuah tulisan harus mampu memikul tanggung jawab agar seorang pembaca tidak terprovokasi secara negatif dalam pengertian yang luas tentunya.
Ini bukan pembelaan, karena saya pun bukan pengagum sosok Aa Gym. Apalagi saya telah berkomentar sebelumnya di tulisan tersebut bahwa Aa Gym merupakan orang yang sombong (dengan alasan tertentu yang akan menjadi tulisan tersendiri tentang Berpoligami, ciri orang yang sombong).
Saya tidak sedang mengingatkan siapapun, hanya saja selalu merasa kecewa dengan penghakiman-penghakiman yang kadang tidak saya sadari saya lakukan terhadap orang lain.
Populernya tulisan infotainment perceraian Aa Gym mudah-mudahan tidak menjadikan Kompasiana sebagai Rumah Gosip.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H