Kejadian ini sebetulnya sudah lama, sekitar 2 tahun yang lalu, namunsaya merasa tidak terlalu penting menceritakannya. Setelah muncul fenomena fiksi esek-esek di fiksi Kompasiana dan menjadi salah satu tema yang controversial, disuka oleh sebagian orang dan dihujat oleh sebagian orang. Saya sendiri memposisikan diri secara pilih-pilih, mana tulisan yang saya butuhkan dan tidak penting sehingga jika memang merasa tidak perlu tidak usah dipermasalahkan, lewat saja, gak usah dikomentari, kalo dikomentari apalagi di klik ya…tambah besarlah tulisan-tulisan tersebut sebagaimana tambah besarnya seorang kompasianer yang sering kali cari perhatian dengan judul yang bombastis namun hampa isi.
Dua tahun yang lalu, secara tak sengaja saya menemukan profil ‘p***tri’, karena saya mengira bahwa profil tersebut adalah tempat curhat urusan suami isteri, akhirnya saya add, siapa tau suatu kali saya akan membutuhkannya. Tidak lama kemudian profil tersebut mengkonfirmasi pertemanan. Setelah beberapa lama, kami seringkali OL bareng, dan rasa kepenasaran saya akhirnya saya utarakan dengan menyapa terlebih dahulu. Setelah basa-basi saya pun memberanikan diri untuk mempertanyakan tentang makna dari nama profilnya tersebut.
Dia seorang isteri dari pasangan seorang suami. setelah saya tanya-tanya dan desak akhirnya ia mengaku, bahwa sebelum ia menikah sudah bersepakat dengan suaminya untuk melakukan tukar pasangan dengan pasangan sah menikah. Hal ini dijalaninya sejak ia menikah 3 tahun lamanya dengan suami. Jika ada pasangan yang cocok dan menarik, maka ia akan melakukan tukar pasangan untuk melakukan hubungan suami isteri. Saat itu saya terus terang merasa berada di dunia antah barantah dan jahilliah, ternyata cerita-cerita fiksi yang pernah say abaca adalah nyata, tidak hanya berada dalam imajinasi para penulisnya belaka. saya kira yang menjadi fenomena itu hanyalah perselingkuhan, baik yang dilakukan oleh suami ataupun yang dilakukan oleh isterinya.
Berangkat dari satu nama profil tersebut, saya cari profil yang sama, ternyata keluar beberapa profil dan menunjukan tempat daerah saya pasangan tersebut berada. Tukar pasangan atau yang kita kenal dengan istilah swinger sudah menjadi bagian dari kehidupan kita di sini, dalam dunia nyata, bukan dalam alam imajinasi atau novel-novel esek-esek. Dari salah satu profil tersebut saya add beberap profil dan salah satu profil mengkonfirmasi pertemanan. Dari situlah saya keyakinan yang lebih menguat. Dengan bekal pengalaman awal, secara verbal saya langsung mengutarakan maksud (pura-pura) sebagai swinger untuk membuktikan bahwal tukar pasangan adalah hal yang lumrah bagi orang-orang tertentu. Ternyata benar saja, bahwa ia siap melayani dengan senang hati jika saya bisa menunjukan foto pasangannya. Bahkan ada juga kemesraan pasangan ditunjukan secara verbal untuk menarik calon pasangan yang ingin bertukar. Bahkan di profilnya ada yang tertulis bahwa dirinya hanya akan menerima pertemanan khusus untuk pasangan suami isteri yang tertarik untuk bertukar pasangan.
Fiksi esek-esek
Fiksi merupakan cerita rekaan. Cerita rekaan tentu saja imajinasi para pengarangnya. Namun bisa juga berangkat dari pengalamannya sendiri atau sebagai kritik dari sang penulis terhadap fenomena yang sedang terjadi. Namun pada sisi lain, imajinasi juga dapat menunjukan sebagai keinginan bawah sadar penulisnya.
Teringat Freud, psikolog dari aliran psikoanalisis menyatakan bahwa pada dasarnya manusia digerakan oleh alam bawa sadarnya. Alam bawah sadar akan muncul tanpa disadarinya. Kemunculannya tersebut didorong oleh keinginan-keinginan yang mengendap dalam alam bawah sadarnya.
Fenomena munculnya fiksi esek-esek yang ditunjukan oleh beberapa kompasianer, jangan-jangan juga menunjukan keinginan terpendamnya berkaitan dengan permasalahan seksualitas baik kompasianer perempuan atau laki-laki. Semua orang memiliki imajinasi seksual, namun ada yang bisa ditahan ada juga yang bisa disalurkan (tidak bisa menahan) sehingga lahirlah jaman jahiliah baru. Jaman yang digerakan oleh hasrat rendah yang memiliki orientasi hanya untuk memenuhi hasrat biologisnya seperti dalam teori kebutuhan dasarnya Maslow. Cerita-fiksi esek-esek merupakan bahasa verbal sebagai pesan dari alam bawah sadarnya. Jika symbol verbal dalam bentuk fiksi ini ditanggapi dengan bahasa yang sama dan kemudian menyambungkan antara pasangan, bisa jadi kompasiana menjadi media yang harus bertanggung jawab terhadap terjadinya ‘perzinaan’ antara sesama kompasianer. Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi. Karena jika hasrat bertemu hasrat yang sama, maka tidak akan bisa dibendung lagi.
Oleh karena itu, berkaitan dengan fenomena fiksi esek-esek yang mulai mendapat sorotan dari beberapa kompasianer, tampaknya pihak admin harus segera menertibkan dan memberikan peringatan kepada para penulis tersebut. Agar Kompasiana tidak menjadi media bebas sehingga kehilangan ciri sebagai rumah sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H