Mohon tunggu...
Abah Raka
Abah Raka Mohon Tunggu... Buruh - catatan-catatan receh tentang filsafat dan politik

kanal personal: https://abahraka.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Cerita Paku dan Lidah untuk Ibu Linda Jalil

3 Desember 2010   16:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:03 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Membaca tulisan Ibu Linda Jalil dalam dua tulisannya tentang Admin Kompasiana  [emosi dan Maaf] saya jadi teringat cerita Paku dan Lidah yang diceritakan oleh seorang Dosen, Bapak Roy Rondonuwu. Cerita Paku dan Lidah dishare oleh Pak Roy untuk mengantarkan mata kuliah Komunikasi Antar Pribadi, teman-teman sering menyingkatnya dengan KAP. Sebagai pengantar kuliah dalam membina hubungan sesama cerita paku lidah sangat bermanfaat. Berikut akan saya ceritakan ulang, berarti ini namanya plagiat cerita he..he..

Cerita Paku Lidah tentu saja bukan hanya untuk Ibu Linda Jalil, namun untuk kita semua. Kita dapat mengambil hikmahnya dari cerita tersebut.

Seorang anak seringkali terlibat percekcokan dengan teman-temannya, bahkan si anak seringkali marah-marah terhadap siapapun termasuk kepada ayahnya sendiri. Si ayah sudah habis menasihati sang anak, namun si Anak tidak juga mengerti dan faham serta mengikuti apa yang menjadi nasihat orangtuanya.

Satu kali karena sifat marah-marah sang anak terhadap setiap orang yang menjadi teman sepermainan serta dirinya sendiri sang ayah sudah merasa jengkel. Merasa jengkel karena si anak tidak pernah paham dan mengerti apalagi menuruti apa yang dinasihatkan kepadanya. Sang Ayah berfikir, akhinrnya menemukan satu ide, Yaitu Cerita Paku dan Lidah.

Berbekal paku sebanyak satu kilogram, sang ayah mengajak anaknya bermain dan belajar menempelkan paku.

Sang ayah meminta kepada anaknya dengan menggunakan paku tersebut, “wahai anakku, aku ingin mengajakmu bermain,” ujar sang ayah.

“Bermain apa Ayahku,” Jawab sang anak.

“Ayah sudah membeli paku sebagai bahan permainan kita, ayah ingin kamu yang jadi pemain intinya, ayah menjadi lawan main kamu, karena kamu sebagai pemain intinya maka kamu yang harus memegang paku ini,” ucap sang Ayah.

“Bagaimana cara mainnya Ayah?,” Tanya sang anak mengulangi.

“Ayah punya paku sebanyak satu kilogram, cukup banyak bukan? Nah, paku-paku ini kamu tancapkan sama pagar halaman rumah kita, namun ditancapkannya setiap kali kamu marah,”ujar sang Ayah.

“Wah itu sih pekerjaan yang gampang Ayah, apalagi marah-marah, itu sangat gampang, jadi aku dapat dengan mudah menancapkan paku itu ke dalam pagar,” jawabnya.

“Baiklah, mulai detik ini kita mulai ya?” tantang sang Ayah.

“Baik Ayah,” ujar anak.

Satu kali marah, si anak menancapkan paku ke pagar. Dua kali marah, paku tersebut ditancapkannya lagi. 3 kali, 4 kali, 5 kali, hingga akhirnya paku tersebut habis dan memenuhi kayu-kayu yang menjadi pagar rumahnya.

“Horeeee ayah aku berhasil, pakunya telah habis aku tancapkan ke pagar, liat Ayah, semua pagar sudah penuh oleh paku,” teriak sang anak kegirangan.

“Wah pinter kali kamu ya,” ucap sang ayah, pura-pura bangga dan memuji.

Lalu sang ayah meminta agar si anak mencabutnya kembali paku-paku tersebut, tapi dengan satu syarat bahwa jika sang anak mampu menahan emosinya. Sang ayah memberikan iming-iming sepeda baru jika si anak berhasil mencabut semua paku tersebut.

Sang anak pun menyetujuinya walaupun merasa berat.

Satu kali dapat menahan emosi, satu paku dia cabut, 2 kali dapat menahan emosi 2 paku dapat dia cabut, dan akhirnya si anak berteriak kembali karena berhasil mencabut semua isi paku.

Sang ayah pun benar-benar menunjukan bangganya kepada sang anak.

“Baiklah ayah akui kalo kamu memenangi permainan ini, dan kamu akan segera mendapatkan sepeda barumu,” ucap si Ayah.

“Namun sebelum ayah belikan sepeda baru, coba perhatikan pagar-pagar tersebut,” lanjut sang Ayah.

“Iya Ayah memangnya kenapa?”Tanya sang anak.

“Coba liat paku-paku tersebut meninggalkan lubang yang sangat dalam, jika saja kayu memiliki darah barangkali akan merasa kesakitan dan dilumuri darah. Biarpun paku-paku sudah dicabut tetap saja meninggalkan lubang-lubang tersebut,” Jawab sang Ayah.

“Paku tersebut diibaratkan dengan lidah kamu, ketika lidah kamu mengucapkan kata-kata yang kasar karena marah-marah, maka lidahmu tersebut akan meninggalkan luka pada orang yang kita marahi. Seterusnya seperti itu. Kemudian ketika kamu menyadari kesalahan kamu, yang Ayah ibaratkan dengan mencabut paku, maka lubang paku akan tetap tinggal di kayu tersebut, artinya bahwa bilapun kita sudah minta maaf pada orang yang kita marahi, luka tersebut akan tetap menempel pada seseorang, walaupun seseorang tersebut sudah memaafkan kamu,” jelas sang Ayah.

Praktik Paku Lidah tersebut akhirnya menyadarkan si anak untuk selalu menahan kemarahannya, sebab kemarahan yang ia perbuat ternyata sudah melukai hati orang yang ia marahi. Sang Anak pun benar-benar menyesal dan menangis sejadi-jadinya, namun penyesalan dan tangisannya tetap saja tidak membuat lubang di pagar utuh kembali.

Namun sayang, Ibu Linda Jalil bukan Anak-anak…

*Cerita diubah seperlu dan seingatnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun