Mohon tunggu...
Abah Raka
Abah Raka Mohon Tunggu... Buruh - catatan-catatan receh tentang filsafat dan politik

kanal personal: https://abahraka.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Andi Malaranggeng, Spanduk yang Mati

24 Mei 2010   15:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:00 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauh-jauh hari sebelum kongres, Spanduk Andi Malaranggeng telah memenuhi jalan-jalan kota Bandung, bukan hanya di sepanjang jalan, tapi juga diangkot-angkot bahkan satu bis dipenuhi oleh gambar Andi Malaranggeng. Saat itu saya saya bergumam, kok seperti Pemilukada/ pemilihan umum yang hendak meraih suara ngambang.

Jika dalam Pemilu, pemasangan spanduk sangat wajar untuk meraih suara yang abu-abu. Namun ini pemilihan partai dimana masyarakat tidak dilibatkan untuk pemilihan calon ketua umum demokrat. Saat itu saya teringat pada momen pemilihan salah satu calon ketua pada organisasi Organisasi Mahasiswa di Makasar. Dimana banyak calon-calon yang memasang spanduk besar sebagai media sosialisasinya. Namun hampir semua calon yang memasang spanduk besar tersebut hampir sama sekali tidak memiliki suara.

Saya seringkali berkelakar, bahwa iklan-iklan di TV sebetulnya karena produk yang diiklankan tersebut tidak laku di pasaran sehingga perlu terus-terusan diiklankan. Padahal jika produk tersebut sudah dikenal publik seperti misalnya makanan-makanan tradisional, nyatanya tetap saja laku walaupun tidak pernah diiklankan.

Hal yang sama terjadi pada kasus kekalahan Andi Malaranggeng pada pencalonan Ketum Demokrat. Secara sepintas, spanduk besar-besar tersebut ingin menghipnotis para pemilih yang datang dari daerah sekitar Jawa khususnya yang terlewati oleh para peserta agar lebih mengenal sosok Andi. Andi memang sudah terkenal sebetulnya sebagai kader partai, menteri dan mantan jubir presiden SBY, tapi nyatanya Spanduk tersebut tidak mewakili sosok Andi sendiri. Spanduk Andi tidak mampu mempersuasi para peserta kongres. Hal ini dikatakan oleh Andi sendiri bahwa sosoknya tidak membumi dengan kader di daerah seperti dikutip oleh Tribunnws.com.

Spanduk, walaupun selalu memberikan senyuman, tetapi ia tidak bisa menyapa, sosoknya menjadi mati. Spanduk malah membuat tambah gerah suasana kota, membuat kota semakin tak nyaman sehingga tidak melahirkan simpati.

Dalam faktanya Andi yang menyebar spanduk di setiap sudut dan angkutan kota hanya mampu menyumbangkan 80 suara, sementara Anas dan Marzuki tanpa memasang spanduk dapat meraih 200-an suara lebih.

Spanduk Andi pun menunjukan “arogansi” dan tak “tahu malu” karena walaupun sudah kalah tarung, tetapi tetap saja ‘tersenyum’ dan menyatakan bahwa ia akan menang. Ia bisu, ia tidak membumi karena berada di atas angkot dan Billboard, sosoknya tidak pernah menyapa pejalan kaki. Andi hanya mewakilkan dirinya hanya dengan ribuan spanduk, tapi tetap saja itu bukan sosok Andi yang hidup dan selalu riang walau agak meledak-ledak seperti dikatakan banyak pengamat. Ia pun tidak mampu menyelamatkan diri ketika ada yang mengata-katai, Ia tetap bungkam dan diam, dingin sebagai benda.

Sementara itu Anas dan Marzuki, terlebih Anas adalah sosok yang tidak pernah mewakilkan dirinya melalui spanduk, ia turun ke daerah, bersilaturahmi dengan kader, sekalipun ia paling muda, tetapi ke’dinginan’nya justeru dapat menghangatkan relasi kader sehingga sosok anas adalah sosok yang hidup dan membumi. Ia bisa bicara dan menyapa, tidak hanya senyum tanpa makna seperti halnya Spanduk Andi. Sehingga sangat wajar jika para pendukungnya begitu sangat hidup, bahkan ketika Suara Andi Malaranggeng ingin dialihkan ke Marzuki Ali, Sosok ‘mati’ Andi Malaranggeng tidak mampumengendalikannya sehingga pendukung Andi lebih mengalihkan suaranya kepada sosok yang hidup. Ya wajarnya sosok yang ‘mati’ itu tidak bisa memberikan kehidupan kepada para pendukungnya, karena pendukungnya pun menginginkan sosok yang lebih hidup lagi, lebih humanis dari sekedar pengabdi yang ‘mati’ dan ‘tunduk’.

Selamat Cak Anas, semoga sosok humanisnya tidak digadaikan dengan ratusan spanduk kelak....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun